Keesokan harinya, langit cerah seolah kejadian hujan kemarin hanyalah ilusi. Aaron duduk di sudut belakang kelas, tempat di mana ia selalu bisa mengamati segala sesuatu tanpa harus terlibat langsung. Dengan tatapan tajam namun malas, dia memindai setiap sudut ruangan seperti biasanya, menilai gerak-gerik teman sekelasnya. Tidak ada yang menarik perhatian—setiap orang tetap takut padanya, seperti biasanya.
Namun, hari ini, sesuatu berbeda.
Suasana kelas tampak sedikit bersemangat karena kedatangan seorang murid baru. Para siswa berbisik-bisik, memperbincangkan siapa yang akan menempati kursi kosong di barisan depan, sementara Aaron tetap terlihat acuh. Pikirannya kembali pada kejadian kemarin—pada gadis yang berani menghentikan perkelahian dan menatapnya tanpa rasa takut.
Tanpa diduga, pintu kelas terbuka, dan seorang guru masuk diikuti oleh sosok yang tidak asing bagi Aaron.
“Perhatian semuanya,” suara guru tersebut memecah keheningan. “Hari ini kita kedatangan murid baru. Namanya Luna. Dia baru saja pindah ke sekolah kita, jadi pastikan kalian semua bersikap ramah kepadanya.”
Aaron merasakan kejanggalan di dadanya ketika melihat Luna berdiri di depan kelas. Gadis itu terlihat berbeda di bawah cahaya matahari yang masuk melalui jendela—senyumnya ramah dan penuh kepolosan, sementara matanya yang cerah menyapu seluruh ruangan. Sama sekali tidak ada kesan bahwa ia baru saja menghentikan sekelompok siswa yang hampir terlibat perkelahian dengan Aaron kemarin.
“Luna, kamu bisa duduk di sana,” kata guru itu, menunjuk kursi kosong tepat di barisan depan, tak jauh dari Aaron.
Luna tersenyum dan mengangguk, kemudian berjalan menuju kursinya dengan santai. Begitu ia duduk, dia melirik ke belakang, matanya bertemu dengan tatapan dingin Aaron. Sejenak, ada kebingungan di wajahnya. Mungkin ia tidak mengira bahwa Aaron juga bersekolah di tempat yang sama, atau mungkin dia baru menyadari kehadiran pemuda yang kemarin ia tolong.
Namun, yang mengejutkan bagi Aaron adalah kenyataan bahwa Luna tidak menunjukkan rasa takut atau canggung ketika tatapan mereka bertemu. Sebaliknya, dia tersenyum tipis—sebuah senyuman hangat yang hampir tidak pernah ia dapatkan dari siapa pun. Aaron merasa terganggu oleh itu. Kebanyakan orang akan menghindarinya, atau setidaknya berpaling secepat mungkin. Tapi tidak dengan Luna.
Selama beberapa jam berikutnya, Aaron nyaris tidak bisa fokus pada pelajaran. Pikirannya berputar-putar, mencari tahu bagaimana seorang gadis seperti Luna bisa begitu berani dan polos di saat yang sama. Satu hal yang semakin jelas bagi Aaron—Luna bukan gadis biasa. Ada sesuatu tentangnya yang menarik, sesuatu yang berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui.
Jam istirahat pun tiba. Siswa-siswa lainnya mulai bergerombol menuju kantin atau halaman sekolah, meninggalkan kelas. Luna bangkit dari kursinya, masih tersenyum dan menyapa beberapa siswa yang mencoba berbasa-basi dengannya. Aaron memperhatikannya dari jauh, matanya penuh perhitungan.
Sambil berjalan keluar, Luna tiba-tiba berbelok ke arah Aaron dan menghampirinya. "Hei, Aaron, kan?" tanyanya dengan nada ceria, seolah mereka sudah lama berteman.
Aaron menatapnya dengan tatapan dingin, sedikit bingung. "Kamu tahu siapa aku?" tanyanya datar.
"Ya, tentu saja," Luna menjawab dengan ringan. "Kita kan bertemu kemarin. Kamu mungkin tidak ingat, tapi aku yang menghentikan perkelahian itu." Luna terkekeh pelan, seolah menganggap itu hal kecil, sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja.
Aaron mengerutkan dahi. Tentu saja dia mengingatnya, tapi dia tidak bisa mengerti mengapa Luna bertindak seolah kejadian kemarin bukanlah hal penting. Sebagian besar orang akan menghindarinya setelah melihat apa yang terjadi, atau paling tidak akan merasa gugup berbicara dengannya. Tapi tidak Luna. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda takut atau enggan, bahkan saat tahu siapa Aaron sebenarnya.