My Magic Eye

Rosi Ochiemuh
Chapter #1

Hujan yang Tak Biasa

Februari, 2000.

Pelajaran hari ini terakhir Fisika yang membuat kepala tambah penat, menjelang siang menuju adzan Dzuhur. Bukan karena pelajarannya saja, akan tetapi gurunya yang menjengkelkan. 

Guru Fisika kami kelas tiga SMP namanya Pak Dodi, masih dia yang mengajar, dan yang kami tahu bapak itu sudah berkeluarga, punya tiga anak. Anak yang paling besar katanya baru duduk di bangku SMAN 02, kelas satu. Sedangkan anak-anaknya yang lainnya di sekolah dasar kelas tiga dan kelas empat.

Aku selalu risih bertatapan dengan guru fisika ini. Matanya itu sangat menjijikkan kalau memandang murid perempuan. Kedua matanya seolah ingin menelanjangi kami dari ujung kaki sampai wajah. Dari ujung kaki, bukan dari ujung rambut ditatapnya pada kami--murid perempuan seolah melihat hidangan di meja makan.

Pak Dodi setiap kali menegurku dengan kalimat yang sama jika ketahuan aku tidak menyimak pelajarannya.

"Rozana! Kamu selalu ketahuan melamun pas fisika bapak. Apa lagi mikirin pacar? Gantengan mana, Bapak sama pacar kamu, sampai melamun begitu?" tegurnya, yang membuat aku malu dan hampir semua teman sekelas terbahak. Apalagi murid laki-laki, mereka begitu senang gurauan Pak Dodi yang vulgar itu. 

Aku pasang muka datar sambil berkata minta maaf. Meski tegurannya itu menjengkelkan hati, tapi aku tetap menegakkan kepala di hadapannya tanpa melihat wajah Pak Mesum itu sama sekali. 

Aku bersekolah di sekolah yayasan swasta. Sekolah Menengah Pertama Yayasan Wanita Berdikari. Kelas tiga-tiga. Ruangan paling tengah, pintu yang berhadapan dengan lapangan basket, dan sinar matahari langsung masuk ke kelas kami jika menjelang siang hari.

Kali ini aku benar-benar muak di kelas saat pelajaran Fisika itu, bukan karena tegurannya yang kemarin-kemarin diulang padaku. Namun, satu hal yang paling kubenci dari Pak Mesum itu, disaat kami ulangan harian pelajarannya. Murid perempuan di kelas ini selalu jadi sasaran empuk, terutama yang memakai seragam, rok ketat, dan berdandan. 

Pak Dodi tidak segan untuk menyuruh salah satu murid perempuannya yang cantik, dan berseragam ketat untuk membantunya mengoreksi kertas ulangan harian. Jika bukan Wati, pasti Ina. Pak Dodi minta salah satu dari mereka untuk menemaninya setelah semua murid kelas tiga-tiga pulang.

Bukan cuma itu saja, yang menjengkelkan, Wati atau Ina nilai ulangan hariannya lebih bagus daripada aku dan Edwin si juara umum. Edwin selalu bilang padaku jika dia sangat mendambakan nilai fisikanya di buku raport angka sembilan, tapi yang selalu dia dapatkan angka tujuh. Padahal Edwin sangat cerdas. Aneh, bukan? Pak Dodi sangat pilih kasih, padahal Wati dan Ina itu anak yang kurang pintar jika diajak belajar bersama untuk pelajaran Fisika dan Matematika, jawaban soal mereka sering salah semua.

Siang yang terik, akhirnya kami pulang setelah bell dua kali berbunyi di sekolah. Edwin mendekatiku. Cowok satu sekolah dan sekelas denganku itu adalah anak paling cerdas di sekolah kami. Juara umum satu sekolah sejak kelas satu. Aku pun mengaguminya, tapi pura-pura cuek jika berhadapan dengannya.

Lihat selengkapnya