Februari, 2000.
Hujan... Suaramu sangat berisik, dingin yang semakin dingin. Aku anak perempuan yang masih kelas 3 SMP, mengapa harus merasakan kesialan dari kecerobohanku sendiri?
"Roz! Rozana!" Terdengar ada suara memanggil. Aku melihat ada Edwin, Diana, Ema, Dwi, memanggilku.
Mengapa mereka mengerubungi? Aku di mana? Mengapa mereka terlihat cantik dan ganteng? Apakah ini hanya mimpi?
Kedua mata ini mengerjap perlahan. Kepala pusing, dan rasa nyeri terasa di dahi kiriku. Sepertinya ini bukan mimpi. Aku ingin beranjak bangun tapi badan dan kepala ini berat sekali. Apa aku ada di rumah sakit? Langit plafon di atas warnanya putih berawan.
Pandangan mataku berkabut putih. Sayup-sayup suara Rere lalu Oni bersahutan berisik melengking di telinga.
"Ibu! Kak Roz matanya sudah melek. Kakak sudah sadar, Bu!" teriak Rere adik keduaku yang tomboy, terdengar melengking. Disusul suara Oni, adik bungsuku yang berumur enam tahun itu. Dia sepertinya senang lihat aku sadar tapi suaranya yang paling berisik.
Adik-adikku diam setelah mereka melihat Ibu menghampiri tempat aku berbaring. Wajah Ibu akan sama, setiap terjadi apapun pada anak-anaknya, dia panik dan cemas. Kemudian beberapa menit setelah wajahnya panik, omelan dan ceramah menyusul.
Namun, kali ini tidak begitu. Kuperhatikan wajah Ibu menatapku lama dan terlihat sembab di matanya. Apa Ibu habis menangis? Menangisiku? Ah, masa iya Ibu menangis karena aku yang dahinya berdarah.
Teringat adegan menyakitkan di waktu hujan deras. Kecerobohanku atau kecelakaan karena kecerobohan orang lain?
"Kamu sudah bangun, Roz? Syukurlah luka di dahimu tidak parah. Dokter sudah menjahitnya. Besok kita ke rumah sakit umum untuk rontgen bagian kepala yang terluka. Dokter ingin memastikan apakah tidak sampai kena gegar otak," ucap Ibu mengelus rambutku.
"Oh, aku sekarang tidak di rumah sakit, kan, Bu? Tadi apa ada teman-teman sekelasku yang ke rumah menjenguk?" tanyaku penasaran, karena dari tadi di kepala hanya itu yang ingin diucapkan.
Ibu tersenyum, dan menggeleng, "kamu dirawat di rumah sejak kemarin, Roz. Bapak langsung panggil Mantri, dokter dari Puskesmas, karena hujan deras. Khawatir darahnya makin banyak keluar. Mang Adi yang gendong kamu dari tempat kejadian ke rumah, hujan-hujanan. Kalau tidak ada dia, nggak tahu jadinya. Oh, iya. Temanmu belum ada yang ke sini," ujar Ibu panjang bercerita. Kedua matanya berkaca-kaca.