Februari, 2000.
Siapa yang tidak senang jika temanmu datang menjenguk ketika kamu sakit? Senang sekali, bukan?
Keesokan harinya Edwin, Diana, Dwi, dan Ema datang menjengukku di siang hari. Mereka membawakan roti isi yang mungkin belinya di toko roti seberang jalan dekat rumahku. Baik sekali mereka. Senang rasanya, tapi mengapa wajah yang terlihat cemas hanya Edwin. Aku menghela napas.
"Berarti hari kejadian itu, setelah terakhir kita berpapasan ya. Waktu pulang sekolah lalu hujan turun? Oh iya, bagaimana kepalamu?" sahut Edwin antusias, setelah kuceritakan kejadian naas itu.
"Kok, bapakmu tidak melaporkan motor yang menyerempet kamu ke polisi?" cerocos Dwi.
"Untung saja, lukanya tidak parah ya, Roz. Kalau tidak ada Mang Adi yang menolong kamu gimana jadinya? Nggak bisa bayangin, deh," seru Diana tapi lengannya langsung dipukul sama Ema sembari melotot.
"Huss! Diana, kamu tuh bisa tidak ngomong yang enak. Kita jangan bahas sakitnya teman kita. Cerita yang menyenangkan gitu," celetuk Ema dengan bahasanya yang selalu sok dewasa.
Aku hanya terpaku, sambil mendengarkan. Lagipula bingung juga mau menanggapi satu per satu ucapan mereka setelah aku bercerita. Mereka lebih ramai dari Rere dan Oni.
Kuembus napas dalam-dalam. Lantas, mengambil sebungkus roti isi yang langsung dibuka dan kumakan. Edwin, Dwi, Ema, dan Diana bersamaan melirik.
"Apa? Mengapa melihatku begitu? Kalian ramai sekali. Aku bingung jawab satu per satu, jadi makan roti saja. Kebetulan lidahnya lagi pahit nih, perlu makan yang manis," ucapku datar, sambil menunjukkan roti di tangan. Mereka meringis.
"Kepalaku tidak apa-apa, Edwin. Mataku juga. Kemarin sudah diperiksa di rumah sakit umum. Dwi, kenapa bapakku tidak melapor ke polisi. Ya, karena yang tahu aku diserempet motor awalnya aku saja, Mang Adi menemukanku sudah pingsan di samping jalan dalam keadaan dahiku berdarah. Pada waktu kejadian sedang hujan deras disertai angin, begitu. Yah, semoga pengendara motornya diberi sama Allah hidayah," jawabku memuaskan mereka.
"Aamiin!" teriak Diana dan Edwin. Ema malah terbahak, mendengar endingnya.
"Kamu juga, Ema. Lebih cocok jadi Ustadzah atau jadi penerus Pak Misran di sekolah kita," sentilku pada Ema, matanya mendelik. Persis seperti Guru Agama kami di sekolah, Pak Misran.
"Iya, Roz. Kok aku nggak kepikiran deh," sahut Dwi datar sekali responnya. Sementara Edwin dan Diana tertawa lagi.
"Apaan sih, Kalian," tukas Ema, mukanya cemberut tapi dia tidak marah sih dengan candaan kami. Hanya yang aku bingung dengan teman kami Dwi. Setiap ada perkataan atau guyonan yang lucu, dia tidak pernah langsung tertawa. Malah datar saja, entah apakah memang responnya sangat lambat.
"Oh iya, Edwin. Bapakmu sudah mengadakan syukuran? Kamu sudah bertemu ibumu?" tanyaku dengan santainya.