Maret, 2015.
Handphoneku berdering. Pagi-pagi sekali Rere menelepon, pukul tujuh kurang lima menit lagi. Aku harus gegas berangkat bekerja.
"Kak, Rere mau bicara sebentar. Penting, bisa ya, Kak. Nanti malam Ibu dan Bapak juga mau menelepon Kakak," ucap Rere di telepon.
"Aduh, Re, kamu telepon pagi-pagi begini, sih? Kakak mau berangkat kerja. Sudah di atas motor nih. Nanti saja jam dua belas siang kakak telepon lagi, ya. Dah, ya," ujarku, langsung memutuskan telepon sepihak.
Jakarta jam segini masih macet. Untunglah, jarak kantor dengan kosan dekat jika ditempuh pakai motor matic. Jika tidak, pastinya sungguh merepotkan. Paling tidak, aku harus berangkat setelah Subuh.
Di tengah perjalanan menuju kantor, kepikiran dengan telepon pagi tadi. Apa yang mau Rere bicarakan padaku, mendadak penting sekali? Sejak dulu jika aku menelepon keluargaku di Palembang, Rere tidak pernah mengobrol. Aku selalu bicara pada Ibu dan Bapak, sesekali dengar suara Oni menanyakan kabarku. Rere sejak kecil sangat cuek. Mana mau jika aku menelepon dia bicara, alasan sibuk dan segala macam. Baru kali ini dia bersedia meneleponku.
Sesampai di kantor, aku memarkirkan motor di area parkir. Pak Doris, satpam kantor kami menyapaku dengan senyum setiba aku di depan pintu kantor dan kubalas dengan sapaan juga.
Aku tiba pukul tujuh lewat dua puluh lima menit. Masih ada tiga puluh lima menit lagi untuk sarapan, kebetulan di pinggir jalan mampir sebentar beli siomay dan susu kedelai.
Ruangan tempat aku bekerja ada di lantai satu, meja kerjanya ada di bawah tangga sebelah meja resepsionis, dan meja dua sales junior. Kebetulan di ruangan itu baru aku yang datang. Akhirnya kuputuskan untuk menelepon balik Rere, menanyakan apa yang mau dibicarakan.
"Halo, Re. Kamu sekarang lagi ngapain? Ini kakak. Mau bicara apa kamu tadi pagi sama kakak? Sekarang kakak ada waktu tiga puluh menit," ucapku mengawali obrolan.
"Aku sedang di rumah, lagi libur kerja karena kantornya sedang direhab, Kak. Begini, Kak. Aku mau minta izin sama Kakak terlebih dahulu. Andre akan melamar, dia mau menikahiku, Kak. Sebelumnya aku sudah bilang sama dia harus minta restu dulu sama Kak Rozana, karena Kakak belum menikah dan anak tertua. Bagaimana, Kak?" ucapnya panjang lebar, ternyata dia izin untuk menikah lebih dulu. Aku termangu.
Rere tahun ini usianya sudah dua puluh enam. Sedangkan aku baru saja berumur tiga puluh tahun. Aku sejenak berpikir. Bisa-bisanya Rere minta restu dengan cara dadakan begini. Harusnya menelepon di waktu senggang, dimana aku bisa berpikir panjang dan matang.
Aku sadar, di usiaku tiga puluh satu belum ada calon suami. Pacar pun tidak punya karena muak sama yang namanya pacaran. Apalagi memikirkan aku ingin menikah, tidak, aku tidak mau cepat menikah. Aku sudah tenang dan nyaman hidup melajang.
Tak disangka, Rere dan Oni sudah besar dan dewasa. Aku masih menganggap mereka adikku yang ingusan. Masih takut sama kegelapan, dan takut sama suara Jarwo--pria idiot di tempat tinggal kami.
Aku menarik napas panjang. Jika tidak merestui, maka yang berdosa besar pasti orang tuaku. Usia Rere sudah matang untuk menikah, jika menunggu aku menikah lebih dulu, kasihan dia. Setelah kuputuskan dengan tenang dalam hati, aku merestui Rere untuk menikah dengan syarat ketentuanku.
"Apa kamu sudah mantap untuk menikah, menjadi istri dan mengurus keluarga, Re?" tanyaku sekali lagi.
"Iya, Kak. Rere sudah mantap menikah. Rere dan Andre ingin membina rumah tangga dengan baik, sesuai sunnah Rasul," jawabnya mantap, di telepon.
Sunnah Rasul, alasan orang menikah untuk itu. Namun, kenyataan gambaran yang selalu kulihat dari penglihatan ajaib ini, adalah kesedihan, luka, dan kesusahan. Pernikahan yang kulihat dari wajah para perempuan yang kukenal sangat menyedihkan. Dan terjadi di dunia nyata. Aku harap pernikahan adikku tidak begitu. Semoga lebih matang dan bahagia.
"Bagaimana dengan Andre dan keluarganya? Apakah mereka setuju, dan baik sama kamu?" tanyaku lagi.
Aku ingin memastikan adikku mendapatkan pasangan hidup yang baik dan keluarga suami yang baik pula padanya, demi masa depannya.
"Alhamdulillah, Kak. Andre itu anaknya baik, rajin ibadah, sudah punya pekerjaan tetap. Malah ibu dan ayahnya yang menyuruh segera untuk melamarku, Kak. Aku sudah dipertemukan sama orangtuanya. Keluarga yang baik, Kak," jawab adikku mantap. Aku menghela napas, merasa lega mendengarnya.