Juli, 2001.
Aku menemukan wajah yang berbeda dari perempuan yang kukenal. Wajah sepupuku yang paling cantik di keluarga kami. Haruskah dia mengalami hal semacam ini? Baginya menikah dengan kekasihnya adalah kebahagiaan. Namun, di penglihatanku berbeda. Kulihat banyak air mata yang akan dirasakan setiap saat setelah Ijab Kabul datang.
Keluarga kami sangat sibuk, terutama Wak Udin, kakaknya Bapak. Kak Irma, anak gadisnya nomor dua akan menikah di usia yang menurutku sangat muda. Entah mengapa Kak Irma harus menikah setelah lima hari menerima ijazah SMA.
"Bu, Kak Irma menikah sama pacarnya, Bang Surya, bukan? Aku perhatikan, badan Kak Irma sekarang gemukan, ya, Bu?," tanyaku memberondong.
Ibuku masih belum menjawab, sibuk menggosok pantat dandang besar yang hitam karena kemarin dipakai buat hajatan tetangga yang masaknya pakai kayu bakar.
Aku berdecak sendiri dan tiba-tiba adikku Oni datang sambil berlarian. Kebiasaan anak itu kalau pulang dari main, dia bilang ‘assalamualaikum’ sambil lari-lari masuk ke dalam menyenggol pinggangku.
"Oni! Bisa nggak kalau masuk rumah nggak pakai lari?" tegur aku, dia lalu menunduk di hadapanku.
"Iya, Kakak. Oni tadi main kejar-kejaran sama teman. Habis dari rumah Wak Udin. Rumahnya ramai, Kak. Wak mau hajatan, ya. Banyak makanan di rumahnya," ujar Oni. Setelah menunduk, dia kembali ceria bercerita.
Oni memang paling suka keramaian. Apalagi kalau di rumah tetangga yang akan mengadakan hajatan. Dia adik laki-lakiku yang bungsu dan sangat aktif, tapi jarang bercerita kecuali padaku.
Rere menyusul masuk ke rumah menuju dapur, tempat aku dan Ibu berada sekarang. Mukanya cemberut, sepertinya dia sedang kesal. Rere baru saja masuk SMP, anak itu baru masuk remaja. Emosinya memang selalu labil.
"Kak Re, cemberut aja," tegur Oni yang selalu ingin tahu urusan orang. Aku menghela napas. Jangan sampai dia disembur sama Rere, nanti ujungnya bertengkar mulut.
"Apa sih! Tanya-tanya aku?" ketus Rere. Lantas kutarik tangan Oni dan menyuruhnya untuk menjauhi Rere. Oni menurut padaku setelah aku berikan uang jajan seribu rupiah, dia langsung ke luar untuk jajan. "Rere kenapa? Datang-datang cemberut saja," tanyaku. Matanya malah mendelik. Rere memang adik perempuanku, tapi sikapnya kadang seperti anak tomboy yang menyebalkan, padahal dia anak gadis.
Sementara itu, Ibu sudah ke luar rumah buru-buru. Sepertinya pergi ke rumah Wak Udin buat bantu-bantu acara hajatan nikahan Kak Irma dua hari lagi. Anehnya, Ibu seperti merasa sedih akan kabar pernikahan Kak Irma.