Oktober, 2001.
Mereka memang sedang gila atau tergila-gila karena cinta? Kukira seorang gadis semestinya bisa menjaga martabat seperti jual mahal pada laki-laki.
Namun, kebanyakan gadis muda lebih suka digoda, dipuji lelaki yang belum tentu serius, mau dibuai dengan gombalan sampai buta segalanya. Akhirnya cuma dapat cinta dan kenikmatan sesaat, melepaskan kebahagiaan dan rasa nyaman dalam hubungan percintaan yang panjang.
Tak ada tanda hujan akan turun deras. Tahu-tahu panas yang sedang terik itu berganti hujan deras. Begitu juga keadaan seseorang.
Waktu siang yang terik, tiba-tiba ada cowok bertubuh tinggi dan kurasa umurnya tujuh belas tahun. Anak SMA, datang ke tempat tinggal kami mencari gadis bernama Ema Triana. Cowok itu bernama Joni.
Nama gadis itu pastinya aku kenal, dan tinggalnya di RT sebelah kampung kami. Joni sampai ke rumahku saat dia mencari rumah Ema Triana, teman SMP-ku dulu, dengan tanpa malu bertanya-tanya ke setiap temanku. Ternyata aku dan dia satu sekolah cuma beda kelas. Dia kakak kelas tiga.
Ema dan aku setelah tamat SMP melanjut ke SMA dan memilih beda sekolah. Ema sekolah di SMA swasta Bina Darma. Sedangkan aku bersekolah di SMA swasta Yayasan Berdikari. Aku dan Ema tidak masuk SMA Negeri, karena NEM kami kurang lima angka.
Bukannya kami tidak pintar, hanya ingin memilih bersekolah dengan nilai yang kami terima. Walau pada saat itu, kami bisa masuk sekolah negeri asalkan ada uang sogokan ke calo ke sekolah negeri itu.
"Kamu, Rozana temannya Ema, bukan? Aku boleh minta tolong antarkan ke rumah Ema. Kata temanku kamu temannya Ema sewaktu SMP. Aku sekarang pacarnya dan calon suaminya," ucapnya dengan panjang kali lebar, setelah sampai di depan rumahku.
Untunglah saat itu orangtuaku sedang tidak di rumah. Hanya ada Rere dan Oni di rumah saat Joni mengetuk pintu mengucap salam.
Ternyata cowok ini baru pacaran sama Ema. Kayaknya dia halu atau cuma bercanda saja sih, gerutuku dalam hati. Modal apa dia yang masih ingusan sampai bilang calon suaminya Ema. Dilihat dari wajahnya, cuma badan doang yang tinggi besar tapi sepertinya anak mami dan tidak pintar.
"Iya, aku Rozana. Serius kamu pacarnya Ema? Aneh banget, bukannya masih sekolah, kok sudah bilang calon suami saja," ujarku, tapi wajahnya datar-datar saja.
"Aku sudah kelas tiga, dong. Sebentar lagi sekolahku tamat dan setelah dapat ijazah SMA, aku pasti melamarnya. Biar Ema tidak dinikahi siapa-siapa, tidak bisa sama cowok lain," ujarnya serius. Aku merinding merasa tidak percaya pada perkataan cowok ini, begitu obsesif.
Karena aku tidak mau bicara banyak sama cowok ini, dengan berat hati aku antar dia ke rumah Ema setelah izin ke adikku sebentar. Rere cengar-cengir saja melihat aku mau keluar rumah bersama Joni. Adikku tentu berpikir macam-macam kepadaku. Dikiranya Joni itu pacarku. Rere langsung diam setelah aku melotot padanya.
Aku sedikit risih berjalan dengan Joni. Tubuhnya tinggi sekali. Wajahnya sih biasa saja, hanya postur tubuhnya itu tinggi besar. Cowok idola gadis sekarang. Sikapnya terlihat cuek. Aku baru tahu kalau dia kakak kelasku di sekolah. Namun, tetap saja aku tak mau bersopan-santun sama orang ini. Wajah dan ucapannya sedikit menyebalkan.
Sesampai di rumah Ema, ibunya Ema menyambut. Lantas, memanggil Ema. Ibunya biasa saja melihat Joni dan aku yang datang. Mungkin dikira ibunya, kami ini teman sekolah anaknya yang mau belajar kelompok.
Ema lalu muncul, seketika matanya membulat melihat Joni dan aku. Dia melotot kepadaku, tapi segera kutarik tangannya mengajak Ema menepi sambil berbisik ke telinganya, "itu pacarmu minta diantarkan ke rumahmu. Dia sampai datang ke rumahku. Dia tahu rumahku dari Rahmat teman sekelasku, dan baru tahu kalau Joni kakak kelasku, teman klub bolanya Rahmat.”
"Oh, mau apa kamu kesini, Joni?" tanya Ema sambil menghampirinya. Joni malah tersipu. Aku terkejut. Sikapnya cepat sekali berubah. Dari yang tadinya bermuka datar menjengkelkan, bicaranya tidak menyenangkan, setelah ada di depan Ema dia sangat manis. Seperti anjing ketemu tuannya.