Juni 2003.
Apa yang terjadi jika laki-laki yang baik dan polos patah hati? Hatinya berkali-kali dipatahkan oleh orang yang dia cintai. Mengapa masih bertahan, jika mencintai sebesar itu? Mengapa harus bersabar, jika sering dikecewakan? Mengapa harus hidup bersama, padahal masih ada beberapa perempuan yang menunggu dan mencintainya?
Bulan yang kunantikan datang. Sebentar lagi aku akan lulus SMA. Setelah lulus sekolah, aku bukan lagi anak sekolah. Rasanya sudah tidak sabar untuk jadi orang yang tidak lagi dipandang sebelah mata.
Anak sekolah seperti kami selalu diremehkan orang dewasa. Pemikiran kami, pendapat kami, tindakan yang kami lakukan selalu diragukan oleh orang tua dan orang dewasa.
Setelah lulus sekolah, aku ingin kuliah. Aku ingin jadi guru di bidang IPA. Aku suka Ilmu Pengetahuan Alam, terutama Biologi. Menjadi guru pelajaran Biologi pasti menarik.
Teringat dulu waktu SMP. Obrolan anak ingusan dan sedikit bergurau, yakni aku, Edwin, Ema, Diana, dan Dwi. Kami punya cita-cita setelah lulus sekolah SMA.
Edwin bercita-cita ingin jadi profesor, dan dosen di sebuah Universitas Negeri. Dwi, bercita-cita jadi bidan. Katanya, profesi jadi bidan itu sungguh mulia. Membantu kesehatan para ibu hamil dan membantu persalinan kelahiran bayi-bayi. Ema, dia ingin jadi penyanyi terkenal dan peragawati. Sesuai dengan postur badan Ema yang berisi dan tinggi semampai.
Cita-citanya Diana, sungguh buat kami kaget sekaligus aneh. Diana ingin jadi ibu rumah tangga yang hebat. Satu-satunya cita-cita murid di sekolah yang menurut kami terlalu sederhana. Ibu rumah tangga. Padahal ibu rumah tangga itu bukanlah cita-cita tapi sebuah status yang pasti akan terjadi pada anak perempuan setelah menikah dengan laki-laki pilihannya ataupun pilihan orangtuanya.
Setelah kami saling bercanda dengan cita-cita masing-masing. Kami pun saling menghargai. Semua anak punya impian yang sebenarnya baru angan-angan.
Seiring usia bertambah maka cita-cita sewaktu di sekolah SMP berubah sesuai dengan keadaan dan kondisi yang ada. Sehingga terbitlah impian yang lain muncul didasari oleh nafsu dan ambisi sesaat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Acara pernikahan akan terjadi lagi dalam keluarga Bapak. Adik bungsunya akan menikah dengan perempuan pilihan adiknya itu. Mang Adi yang dulu pernah menolongku disaat sekarat.
"Mang Adi mau nikah sama cewek mana, Bu?" tanyaku pada Ibu yang sedang menguleni bahan kue donat di dapur untuk dijual ke warung di depan jalan.
"Iya. Kata Nenek, Mang Adi pacaran sama cewek bukan warga sini, baru dua bulan. Katanya dulu siswi yang sekolah di tempat kerja Mang Adi. Pacarnya itu anak yatim sejak kecil," jawab Ibu, sambil menguleni adonan kue.
"Oh, bukannya Mang Adi itu pacaran sama Mbak Eni. Anak tetangga Nenek? Mbak Eni itu manis, baik, dan guru SD, Bu?" sahutku lagi.
"Ibu juga tidak paham, Roz. Itu mungkin cuma gosip tetangga kita. Mang Adi memang orang baik, pemuda baik yang ramah sama siapa saja. Dia memang suka menolong Mbak Eni dulu, sering mengantar karena mungkin Mang Adi hanya menolong saja," ujar Ibu menanggapi.