My Magic Eye

Rosi Ochiemuh
Chapter #8

Luka yang Menyakitkan

Desember 2010. 


Mengapa kau harus memutuskan tali kehidupan yang sudah Tuhan beri, walau banyak ujian dari-Nya? Tidak bisakah sabar sedikit lagi menunggu pembalasan-Nya. Supaya kau berusaha menciptakan kisah indah olehmu sendiri. 

Sementara dirimu pergi, perempuan jalang itu tertawa di samping pusaramu. Dia menari bebas, setelah kepergianmu untuk selamanya. 

Aku … Tidak akan pernah melupakan ini dan mengutuk hidupnya sampai dia menyusulmu. 


Pertengahan bulan Desember.  Aku menunggu waktu libur kerja yang sangat panjang. Warna rambutku berganti lagi. Aku warnai dengan cat rambut warna coklat emas. Hanya ingin ganti suasana baru sebelum tahun berganti sebentar lagi. Hujan sering sekali turun di Jakarta tapi tidak pernah lama, hanya sebentar, dampaknya tetap sama. Jalanan akan macet karena banjir genangan air hujan di jalan raya. Tidak terlalu parah banjir datang setelah hujan turun ke jalan utama menuju kosanku dua tingkat. Tahun 2005 dan 2007, hujan deras di bulan Juli dan Oktober banjirnya naik sampai ke kosan, tingginya dua meter di lantai satu.

Hari ini Jumat, pekerjaan tidak terlalu sibuk. Hari Jumat selalu menyenangkan karena waktu istirahat 1 jam lebih 30 menit. Aku punya waktu banyak untuk melakukan apa pun. Waktunya bersantai di luar kantor. Di sana ada taman kecil di belakang kantin. Taman kecil yang dijadikan dari lahan kosong pembuangan sampah. Disediakan bangku-bangku dan meja dari batu besar, tempat rehat untuk para karyawan kami.

Aku duduk di sudut taman kecil, yang dinaungi pohon Kersen rindang. Buahnya lebat merah dan hijau. Sebagian berjatuhan di bangku dan tanah. Sebagian buahnya masih menghias di pepohonan. Tidak lupa aku membawa novel  Cantik itu Luka, karya Eka Kurniawan, untuk menemani waktu istirahat. Kisah dalam novel yang pembukaan cerita seperti dongeng tapi hampir ke tengah halaman, berlatar politik dan percintaan.

Baru saja aku membaca novelnya halaman 200, Nokia 6600 berdering kencang. Panggilan telepon dari kontak Om Tarim, kakak sepupu ibuku yang tinggal di Pasar Minggu. Aku menutup buku lalu menjawab teleponnya. Om Tarim mengucapkan salam lebih dulu, setelah itu bertanya keadaanku.

"Waalaikumussalam…Iya, Om. Aku baik, Om. Ada apa? Aku sedang di tempat kerja, sekarang lagi istirahat siang."

Sambutan perkataan yang tidak kusangka selanjutnya dari Om Tarim, bersamaan suara petir tiba-tiba menggelegar di atas langit. Siang yang panas ini pun tiba-tiba berubah mendung, mendadak aku membeku setelah mendapatkan kabar buruk dari kota kelahiranku, Palembang.

"Kau sebaiknya pulang, Roz. Minta cuti dari kantor. Bisa tidak? Ibumu menyuruh Om untuk membantu mengurus tiket pesawat ke bandara. Kamu harus naik pesawat biar cepat sampai. Om harap kamu minta izin cuti beberapa hari. Om ingin kamu menenangkan bapakmu, ya. Om belikan tiketnya sekarang."

Om Tarim membujukku supaya pulang ke Palembang. Perihal kabar duka yang menimpa keluarga Bapak. Aku menarik napas panjang. Sesak berkumpul sedikit ke dalam dada ini. Air mata mengalir di pipi. Apa yang terjadi, sampai dia mengakhiri hidupnya tanpa berpikir jernih? pikirku tentangnya. 

Pukul satu siang, aku menuju ruangan pimpinan HRD. Mengajukan izin dan cuti dadakan, beralasan salah satu keluarga orang tuaku meninggal dunia dan aku harus menenangkan bapakku.

Izinku itu berlangsung alot, aku harus memberi alasan yang logis. Namun, aku tetap berkeras agar dikabulkan segera walaupun gajiku pasti dipotong.

“Sebagai karyawan rendahan yang bekerja jadi administrasi kantor barang-barang importir, jabatan rendah itu memang selalu dipandang sebelah mata, bahkan oleh atasan kami. Aku terus menekan atasan, untuk bisa mendapatkan izin cuti untuk ke luar kota. Ke tempat kota kelahiran.

"Baiklah, Mbak Rozana. Saya beri Mbak izin hari ini setengah hari, cuti selama 2 hari, ditambah 2 hari izin. Gajinya dipotong upah kerja dua hari karena izin,” ujar atasanku setelah berdebat dengannya. Aku bernapas lega. 

Om Tarim bilang, tiket pesawat Jakarta-Palembang akan berangkat pukul lima belas lewat lima belas. Aku masih punya waktu satu jam lebih untuk membereskan barang-barang yang akan dibawa. Akhirnya pukul tiga belas lewat tiga puluh menit, aku pulang ke kosan. Hitungan kerja hari ini setengah hari.  Pukul empat belas lewat tiga puluh menit, aku sudah sampai di bandara setelah Om Tarim dan Tante Desi datang ke kosan menjemput dengan mobil mereka. Mereka bersedia mengantarkan aku ke bandara. Tiket sudah dibeli Om Tarim satu jam sebelum menjemputku. 

Lihat selengkapnya