Kebenaran seharusnya bisa menyelamatkan, bukan mendatangkan kerumitan hidup. Begitu seharusnya, bukan?
Salahkah bila aku menyampaikan kebenaran tentang penglihatan dan gambaran yang mendadak muncul kembali setelah bertatap muka dengan calon pengantin perempuan? Entah aku mengenalnya atau tidak kenal.
Desember 2010
Tiga hari pasca Mang Adi meninggal dunia. Aku dan Ibu masih berseteru tentang pernyataan bahwa aku bisa melihat gambaran masa depan pada wajah calon pengantin perempuan. Satu per satu dijabarkan. Benar terjadi seperti pada penglihatan seolah film yang diputar cepat.
"Jika dari dulu kamu merasakannya, mengapa tidak cerita kepada Ibu? Bahwa kamu berulang merasakan penglihatan aneh," desak Ibu.
Aku bingung. Haruskah mengatakan bahwa jika memberitahu setiap penglihatan yang terlihat itu, orang akan percaya? Ibu akan percaya? Atau malah menganggap aku ini gila dan kerasukan jin. Namun, praduga itu hanya tersimpan dalam batin. Bergelut, antara ingin bilang dengan rasa sedih atas kejadian naas yang menimpa pamanku.
"Roz. Apa mungkin kepalamu ada masalah? Kepala kamu pernah terbentur sampai bocor dahi kirinya. Apa karena itu?" duga Ibu tiba-tiba. Perasaanku sedikit tersinggung. "Maksud Ibu, aku tidak waras dan hanya halusinasi saja karena kepala pernah terbentur keras? Sama saja Ibu tidak percaya padaku," ujarku kesal.
"Bukan begitu. Maksud Ibu, mungkin karena itu kamu bisa merasakan penglihatan yang aneh? Ibu mencoba untuk percaya. Namun, yang kamu katakan itu seperti anak indigo saja bisa melihat masa depan. Padahal indigo sebenarnya punya pendamping jin," tutur Ibu berusaha berkata hati-hati.
"Ibu mencoba percaya. Baiklah. Namun, aku bukan anak indigo itu. Apalagi berteman dengan jin. Mana bisa aku melihat makhluk tak kasat mata begitu. Aku juga bingung, mengapa begini? Tapi setiap kali penglihatan itu muncul dahi kiri dekat mata ini sakit sekali, telinga jadi berdengung," ucapku, meyakinkan Ibu agar tidak menganggapku anak indigo.
Aku bukan paranormal. Dunia yang kujalani masih normal dan baik-baik saja. Tidak seperti anak-anak indigo yang bisa melihat makhluk gaib dan merasakan dunianya.
"Siapa tahu, Roz. Saat kejadian sepuluh tahun lalu, ketika kepalamu terbentur dan kamu pingsan di tempat kejadian hujan-hujanan, ada sesuatu yang gaib merasukimu. Bagaimana kalau kamu diruqyah saja? Siapa tahu kembali normal," saran Ibu setelahnya.
Jujur aku merasa tersinggung. Seolah benar kalau aku sedang kerasukan jin, begitu?
"Apa-apaan sih, Bu? Aku memberitahukan ini supaya Ibu bisa memahami, harusnya dikasih solusi yang menenangkan hati. Ibu malah membuat aku seolah sakit jiwa atau kerasukan jin saja. Aku tidak mau diruqyah,” ujarku kesal.
"Ibu mengatakan ini, karena Ibu khawatir jika kamu terus merasakannya. Kamu akan trauma pada pernikahan dan tidak mau menikah seumur hidup karena takut mengalami kejadian sama dengan perempuan yang pernah kamu lihat masa depan pernikahan mereka," tukas Ibu. Kali ini suaranya memelas.