Apakah ini dampaknya, sehingga hati sampai tidak merasakan sinyal asmara?
Aku perempuan sedingin salju bahkan pada laki-laki pertama yang kusukai dulu.
Oktober 2015.
Awal bulan Oktober ini, aku harus pulang ke Palembang naik pesawat jurusan Jakarta-Palembang. Rezayanti alias Rere adikku akan menikah tanggal sebelas Oktober, hari Minggu.
Dia memberikan undangan pernikahannya melalui via Whatsapp ke handphone Samsung Galaxy J5 milikku. Sekarang lebih gampang mengirim undangan bisa lewat hp, jika berjauhan. Tertulis nama adikku bersama nama calon suaminya dalam undangan itu.
Menikah :
Rezayanti Binti Moch.Rajudin
&
Andre Firdaus Ahmad Bin Alex Komar
Tanggal sembilan aku sudah dapat cuti dan izin, empat hari. Tujuh belas lewat dua puluh lima menit, pesawat sudah take off. Aku sudah booking tiga jam lalu melalui pemesanan telepon dengan pembayaran transfer, sebelum keberangkatan ke Bandara. Kira-kira pesawat lepas landas sampai ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin Dua, pukul dua puluh dua puluh lewat lima belas menit.
Om Tarim dan Tante Desi juga mendapatkan undangan pernikahan Rere, melalui via WA. Namun, karena pekerjaan Om Tarim sebagai kepala staf di sebuah perusahaan telekomunikasi, dan memasuki bulan Oktober pekerjaan di kantornya sangat padat. Tante Desi tidak bisa ikut karena dia cutinya sudah habis. Jadi mereka hanya menitipkan aku uang saku, amplop undangan, dan kado pernikahan untuk Rere. Kotak kecil yang sudah terbungkus rapi. Tidak lupa kirim salam buat Ibu dan Bapak.
Sampai di Palembang malam ini, aku naik taksi dari Bandara menuju ke rumah. Bersyukurnya sepanjang jalan aku selalu bertemu dengan orang-orang baik. Sudah terbiasa bepergian sendiri meski aku perempuan.
Bapak dan Oni langsung menyambut aku ketika turun dari taksi yang sudah berhenti di tepi jalan depan gang menuju rumah. Ternyata Bapak dan Oni sudah lima belas menit menungguku di depan gang agar bisa membantu membawa barang-barang. Aku langsung menyalami Bapak, lalu Oni menyalamiku.
Oni kaget, karena barang yang kubawa cuma satu koper besar dorong. Adik laki-laki kami sudah dewasa. Dahulu tubuhnya kurus dan pendek. Kulitnya coklat. Sekarang badannya lebih tinggi dariku sejengkal, tubuhnya gagah, kulitnya sedikit lebih cerah, mukanya lebar terlihat manis beralis tebal, hidungnya besar, rambutnya cepak tidak lagi lurus belah pinggir. Oni langsung membawa koper dorong yang kupegang.
"Kok bawaan Kakak cuma satu? Koper besar ini saja?" tanya Oni celingukan.
"Iya, Kakak hanya sebentar menginap. Kakak sendirian, mana mau bawa barang banyak-banyak Oni," jawabku sambil senyum.
"Maksud Oni, Kakak cuma bawa baju saja, gitu. Tidak bawa oleh-oleh buat aku sama Ibu dan Bapak?" cetusnya mengerutkan dahi.
Aku tergelak, "Kamu pikirannya, kalau Kakak pulang maunya ada oleh-oleh terus," ejek aku sambil memukul pelan pundaknya.
"Yah, Kakak. Malah mengejek," keluh Oni.
“Tenang, Kakak bawa kartu serbaguna. Tinggal gesek, kamu mau dibelikan apa saja di sini. Kita makan-makan di luar,” ucapku pada Oni. Senyumnya melebar.
Bapak ikut tersenyum sambil berjalan menuju ke rumah yang sedikit lagi sampai. Bapak bertanya-tanya kabar aku, Om Tarim dan Tante Desi lalu pekerjaanku. Kujawab apa adanya, sekalian menyampaikan pesan dan salam dari Om Tarim dan Tante Desi bahwa mereka minta maaf tidak bisa hadir, hanya titip amplop dan kado buat Rere. Bapak memakluminya.
Teras depan rumah kami sudah disulap dengan hiasan dekorasi pernikahan. Tenda berwarna biru perak ditambah bunga-bunga segar di beberapa sudut yang menghias pelaminan. Warna latar pelaminannya sama. Biru dan perak berkilauan. Puluhan bangku dan beberapa meja sudah tersusun rapi bersama dengan meja prasmanan untuk santapan tamu undangan.
Aku penasaran bagaimana wajah Rere terlihat atas keputusannya untuk menikah dengan pria pilihannya. Usianya sudah cukup matang untuk menikah. Ibu muncul dari kamarnya dengan wajah ceria menyambutku, seolah aku yang akan menikah saja.
"Baru sampai, ya? Ibu senang sekali kamu bisa pulang," sapa Ibu, "Ayo, Ibu antar ke kamar," ajak Ibu kemudian.
Setelah aku ada di kamar, keadaannya masih sama. Dua tahun lalu aku pulang waktu lebaran Idul Fitri. Ibu dan Bapak tidak pernah mengubah susunan kamar ini meski penghuninya pergi jauh. Sepertinya baru diganti sprei, saat kurasakan dengan belaian tangan setelah menduduki ranjangnya. Ibu ikut duduk juga menghadap ke arahku.