Perkenalkan, namaku Cinta. Aku adalah air mata kehidupan. Jika kau menyentuhku, dadamu akan berdebar-debar. Jika kau memelukku, jiwamu bergelora. Jika kau menyelam bersamaku, walau menderita terasa bahagia.
Januari 2003.
SMA Kelas tiga IPA 3. Hari yang terik setelah masuk siang ke sekolah. Kelas yang ramai karena ketidakhadiran guru Matematika hari ini. Jadwal pukul dua siang setelah mata pelajaran Bahasa Inggris lalu Matematika. Bu gurunya tidak hadir, kelas jadi kosong.
Aku memandangi balkon teras yang menghadap ke lapangan sekolah. Rasanya ingin berdiri di sana menyandar di pagar tembok memandangi lapangan luas, yang akan memperlihatkan pemandangan berlainan.
Kelas kosong, biasanya akan diganti oleh pengganti guru Matematika dari kelas dua. Kak Ani, ketua kelas kami tidak mau kelas diisi guru lain. Jadi dia tidak melapor. Pura-pura tidak tahu karena dia bilang kepalanya lagi pusing dan kebetulan tidak mau belajar Matematika dulu.
Meski kelas yang aku tempati adalah kelas IPA tiga terakhir, akan tetapi anak-anak murid di dalam kelas ini banyak kenakalannya, hiperaktif, dan suka bermusik di dalam kelas saat jam pelajaran kosong. Kelas kosong ini terkadang didatangi murid dari kelas tiga lain, anak IPS satu atau IPS lainnya. Kelas IPS ada 5 kelas.
Hanya murid dari IPS yang berani main ke kelas kami disaat pelajaran kosong. Kelas IPA yang lainnya terlalu naif, mereka murid yang teladan daripada kami IPA tiga. Mereka dari anak IPS itu masuk ke dalam kelas lalu ikutan bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu band, tanpa takut kena tegur guru BP. Kami membiarkannya saja, anggap saja hiburan gratis.
Diwaktu yang bersamaan aku sering dapat salam dari adik kelas dua yang bernama Bambang. Kelasnya yang berada di bawah menghadap ke kelas kami. Aku kesal sebenarnya, sering dititipi salam, dititipi surat melalui murid laki-laki dari IPS dua, yakni Rudi yang tinggal beberapa meter dekat rumahku.
"Eh, Rudi! Kamu kenapa sih kalau datang ke kelas selalu membawa titipan dari adik kelasmu untukku? Kamu dibayar berapa sama dia?" tanyaku padanya ketika dia baru datang.
Rudi cengar-cengir. Cowok yang kurus tinggi dan berkulit coklat itu malah memberikan lagi surat beramplop merah jambu, katanya dari Bambang. "Kenapa sih nggak Bambang itu saja yang kesini kasih suratnya langsung, terus bicara sama aku? Kamu dibayar berapa sama dia?" gerutuku bertanya pada Rudi.
"Dia malu kalau langsung bertemu kamu. Sebenarnya aku kasihan sama dia. Sejak kelas satu, Bambang suka sama kamu. Dia bilang kamu manis dan imut. Bahkan kamu sering juara kelas," jawab Rudi. Bukannya aku simpati mendengar hal itu. Terdengar makin menyebalkan.
"Mengapa malu? Aku baca suratnya selalu sama. Dia kaku dan kuno. Dia bisa main gitar, tidak? Aku lebih suka cowok yang selalu juara umum," tukasku. Rudi malah pergi setelah aku bicara lagi.
Bambang, murid SMA kelas dua dua yang kelasnya ada di lantai bawah. Anak itu aneh. Aku sekali pernah melihat anak itu. Usianya beda tiga tahun dariku, tapi badannya tinggi, tidak kurus dan tidak juga gemuk, dia juga kulitnya coklat. Rambutnya hitam tebal, wajahnya lumayan manis, hanya aku tidak suka dengan sikapnya yang malu dan malu-maluin.
Aku belum pernah bicara langsung pada anak itu. Suaranya pun hanya sekilas terdengar. Namun, Rudi bilang bahwa Bambang sering memperhatikan aku sejak dia masuk sekolah. Waktu itu kelasnya dan kelasku sama-sama berada di bawah. Pukul empat sore, bel berbunyi dua kali. Tanda bahwa sekolah SMA kami dibubarkan dan pulang. Hari ini hanya belajar Bahasa Inggris dan Pendidikan Agama Islam. Baru saja aku akan keluar dari gerbang sekolah setelah hampir semua murid sudah pulang semua. Tepat Rudi dan teman satunya berdiri di depan gerbang. Aku menelan ludah.
Rudi bersama Bambang. Tubuh Bambang lebih bongsor daripada Rudi. Aku tiba-tiba jadi kikuk dan bingung, tapi berusaha untuk biasa saja di hadapan mereka. Aku tidak boleh salah tingkah, tidak boleh gugup.
"Rozana! Kata kamu mau tahu Bambang. Nih, orangnya. Dia mau langsung bertemu sama kamu sambil ngobrol. Dia juga mau antar kamu sampai ke rumah," tegur Rudi, dan Bambang tersenyum manis padaku.
Batin ini ingin berteriak, tidak mau! Tapi bagaimana lagi, aku harus menghadapi orang itu, eh maksudnya anak itu. Jika aku gugup, sama saja menjatuhkan harga diri di depan adik kelas. Dia hanya adik kelasku dan aku lebih tua darinya. Cuma yang buat gugup anak itu senyumnya mengapa manis sekali? Terlihat seperti cowok dewasa daripada adik kelas.
"Oh, begitu. Kenalkan, aku Rozana. Kamu Bambang, kan. Serius, kamu mau mengantarku sampai ke rumah? Ya sudah, ayo jalan," ujarku.
Rudi tersenyum, dan dia tiba-tiba langsung bilang pulang duluan. Sungguh menyebalkan sekali, Rudi meninggalkan aku dan Bambang berdua di jalan.
Akhirnya terpaksa aku harus pulang bersama anak ini. Bambang dan aku berjalan sejajar. Sesekali dia menoleh. Jalannya tegap, usianya lebih tua tiga tahun dariku tapi badannya terlihat seperti orang dewasa saja.
Saat berjalan bersama itu, lalu aku langsung bertanya, "Bambang, boleh tanya. Kamu benar yang sering kirim surat buatku?"
"Iya, Roz. Surat itu memang dariku, aku yang tulis. Bagaimana dengan isi surat itu, apakah jelek? Sebenarnya aku ingin lebih kenal dekat sama kamu," jawabnya sambil memegangi tali tas ranselnya dari bahan parasut.
"Oh, begitu. Tulisan kamu bagus, bahkan menurutku seperti tulisan anak perempuan. Isinya aku sudah baca semua, kamu menulisnya jelas sekali bahwa kamu menyukaiku," ujarku sambil tersenyum hambar padanya.
"Oh, jadi isi suratnya jelek, ya? Sebenarnya kamu adalah cewek pertama yang aku suka. Baru pertama kali menulis surat buat cewek, dan itu, kamu. Bolehkah aku kenal kamu lebih dekat?" tuturnya.