My Magic Eye

Rosi Ochiemuh
Chapter #15

Gantung Hati

Seandainya waktu bisa diputar kembali, atau seandainya kuabaikan rasa cemas dan ketakutan akan penglihatanku. Mungkin masih bisa bersamanya saat itu. Merasakan indahnya jatuh hati yang terbalas.


Januari 2004.

Awal bulan Januari yang cerah. Rasanya baru kemarin aku menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama orang baru, cowok yang saat ini sudah mengisi hari-hariku bekerja di toko. 

Sebenarnya, dua hari sebelum tahun berganti itu. Riko datang lagi ke toko setelah aku selesai bekerja. Dia menungguku pulang dan menawarkan diri untuk mengantarkan aku sampai rumah. 

Sebelum menawarkan ajakan itu, aku belum memutuskan untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya waktu di kafe. 

“Na, ayolah jangan menolak tawaranku. Kalau diantar pulang pakai motor akan lebih cepat sampai. Lagipula aku tidak ada lagi kerjaan,” bujuknya lagi. 

Hampir 15 menit setelah Cece Atik dan teman kerjaku pulang meninggalkan toko. Aku pura-pura menunggu jemputan saat ditanya mereka, mengapa masih belum pulang. 

“Bagaimana, ya. Sebenarnya aku mau. Cuma aku takut merepotkanmu, Riko,” jawabku memelas. 

Entah mengapa saat itu jantungku berdegup kencang, dan ada rasa aneh di dalam dada. Perasaan yang tak nyaman tapi menyenangkan. 

“Untuk masalah di kafe itu. Kamu jangan terlalu memikirkannya, Na. Aku berusaha untuk menjadi teman baikmu dulu, ya. Sekarang kamu terima tawaranku, ya,” ucapnya lagi. 

Aku menimbang-nimbang apakah terima atau tidak. Rasanya agak malu karena belum pernah sekalipun dibonceng motor laki-laki walaupun sama keluarga. 

Berhubung waktu semakin sore, langit sudah mulai memerah karena menjelang senja. Akhirnya, kuterima tawaran itu. Tapi hanya sampai depan gang saja. Aku takut dilihat tetangga yang kenal. Takut jadi gunjingan mereka. 

Akhirnya aku diantar pulang sama Riko. Di tengah perjalanan kami hanya diam. Sedang aku bicara hanya ketika menunjukkan arah jalan.

Saat melewati jembatan Ampera, aku sedikit berbahagia karena bisa merasakan angin sore dan indahnya pemandangan langsung sungai Musi dengan hiasan lampu-lampu rumah rakit di atas air sungai Musi. 

“Benar tidak apa-apa kamu turun disini? Aku jadi tidak tenang kalau belum antar kamu sampai depan rumah,” tanya Riko setelah sampai di depan gang. 

“Iya, tidak apa-apa. Aku jalan kaki saja ke dalam. Terima kasih sudah mengantar,” jawabku sambil tersenyum. 

Sebelum aku melangkah jalan, Riko memanggil. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari tas kecil di pinggangnya. 

“Rozana, ini aku kasih buat kamu. Pakai saja, ya. Sudah ada nomornya. Supaya aku bisa menghubungimu kapan saja,” ujarnya sambil memberikan barang, dan buat aku terkejut. 

Ponsel seluler merek Nokia! Poliponik, tapi apa yang diberikan saat ini bukankah barang mewah menurutku.

“Apa ini? Ini terlalu mahal, Riko. Ponsel ini untukku?”

“Iya, buat kamu, Na. Terima ya. Anggap saja ini hadiah tahun baru dari aku,” ucapnya, dan diberikan ke tanganku. Aku tercenung, dan menerima ponsel itu. 

Ceritanya setelah itu, di malam hari jam 8 malam, Riko menelepon. Untungnya ponsel baru ini tidak bersuara dering tapi mode getar, jadi tidak akan bisa terdengar oleh keluargaku di rumah. 

Lihat selengkapnya