Apa salah ayah dan ibunya sampai Aurora memberikan treatment seperti ini pada mereka?
Lagi-lagi Aurora menggigit bibir. Memang yang ia lakukan ini terbilang ekstrem. Sengaja melarikan diri sementara pesta pertunangannya tinggal beberapa jam lagi. Padahal jika ia mau, seharusnya bisa menghadapi masalah ini dengan lebih dewasa dan bertanggung jawab.
Tapi sudah terlambat semuanya. Toh Aurora sudah keburu kabur, tidak mungkin Aurora berbalik arah dan pulang ke rumah. Bukan itu tujuannya saat ini!
Panggilan masuk lagi ke ponselnya, kali ini nama Luan yang tertera.
Aurora melengos panjang. "Sorry, Luan, kamu cari yang lain saja, jangan aku." Aurora berkata pada dirinya sendiri, seakan berharap yang ia pikirkan tersampaikan pada Luan.
***
Sementara itu di Summer Sky Hotel, sebuah hotel berbintang lima di tengah kota, keluarga Wardana dan Luan Tamawijaya saat ini berkumpul di ruang istirahat di samping ballroom yang dipersiapkan sebagai tempat acara. Raut wajah semua yang ada di situ, tegang. Bingung. Kesal. Marah. Semua emosi negatif bercampur baur menjadi satu. Bagaimana tidak, acara tinggal setengah jam lagi, tapi Aurora sama sekali tidak bisa dihubungi. Entah sudah berapa kali mereka mencoba menghubungi gadis itu, semuanya tanpa hasil.
Luan, pemuda berkacamata, berperawakan tinggi namun kurus, menekan tombol off call setelah kesekian kalinya menelepon nomor Aurora namun tanpa hasil. Sudah coba menghubungi teman-teman Aurora pun, semuanya mengangkat bahu. Luan berdecak kesal, dari raut wajahnya yang tampan namun tirus itu ekspresi kesal dan marah jelas terpancar. Dasi yang semula tertengger rapi di antara kerahnya kini menempel sekedarnya di sana, tidak berbentuk.
"Bagaimana, Luan? Bisa?" tanya Roland sang calon ayah mertua padanya. Raut muka pria agak gemuk setengah baya itu juga terlihat sama kesal seperti dirinya. Mungkin bercampur rasa cemas juga. Entahlah, Luan tidak berminat menilai raut muka seseorang saat ini. Yang jelas, aura tegas dan kaku yang biasa terpancar dari Roland jika berurusan dengan bisnis, kini raib seluruhnya.
Luan menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Roland tadi. "Nihil, Om," jawabnya.
Terdengar desahan kalut semua yang ada di situ.
"Apa yang harus kita lakukan, Om Roland?" tanya keponakan Roland, sepupu Aurora. "Tamu sudah berdatangan. Bagaimana acara bisa berlangsung kalau Aurora nggak ada?"
Rossa, istri Roland, memegangi lengan suaminya. "Kemana anak kita, Pa? Tadi dia ada di rumah, sedang dirias saat kita pergi duluan! Kenapa dia malah pergi?" tanyanya gelisah.
Roland menghela nafas kesal. "Ayo semuanya, kita masuk ke ballroom dan hadapi tamu-tamu kita," ujarnya datar.