"Kalau kamu masih mau Mama anggap sebagai anak, pulang!!"
Untaian kalimat terakhir telak menghantam Aurora. Bahkan ibunya sampai berkata seperti itu, apa yang harus ia lakukan??
Kegelisahan itu semakin nyata terlihat, memancing rasa cemas Sena. "Mama kamu bilang apa, Ra?"
Aurora menggigit bibir.
"Kamu disuruh pulang?" tanya Sena lagi.
Gadis cantik itu hanya bisa mengangguk pelan.
Sena menghela nafas panjang. "Pulanglah ... Jangan bikin mamamu menunggu terlalu lama."
"Mama bilang nggak anggap aku anak lagi kalau aku nggak pulang," ujar Aurora lirih.
"Tuh, beliau sampai bilang begitu. Sudahlah, pulang saja, Ra," bujuk Sena.
"Lalu aku gimana? Lalu kamu gimana? Aku nggak mau kalau harus pulang dan malah tetap dipaksa menikah sama Luan!"
"Semua masih belum terlambat menurutku, Ra. Kamu coba bicara baik-baik dengan orang tuamu. Katakan pendapatmu pada mereka, keinginanmu apa. Jangan lupa meminta maaf karena bagaimana pun kamu udah bikin mereka kecewa dan mangkir dari acaramu hari ini," tutur Sena hati-hati.
Aurora memandangi Sena dalam diam.
"Semua masih bisa dibicarakan baik-baik, kan, Ra. Kalau mereka menyayangi putri tunggalnya dan ingin ia bahagia, mereka nggak akan memaksakan kehendak. Dan setelah itu, baru aku akan maju dan meminta kamu baik-baik," ujar Sena lagi.
"Sungguh?" Pandangan penuh harap Aurora tertuju pada Sena seorang.
Sena mengulas sebuah senyuman hangat. "Sungguh."
***
Maka tidak sampai satu jam kemudian, Aurora sudah sampai di rumahnya lagi, memandangi orang tua dan keluarganya yang lain. Ada dua adik Roland dan anak-anak mereka. Merekalah yang tadi terpaksa ikut menahan malu di ballroom hotel lantaran terpaksa membatalkan acara. Semua orang di sana sedang makan malam, seolah tidak menyadari kehadiran Aurora. Ia hanya berdiri mematung di sana.