"Om Roland," panggil Luan. "Om ingin memaksakan agar Aurora menikah dengan saya?"
"Jika memang harus seperti itu! Kenapa tidak?"
"Om. Sejauh yang saya tahu dari cerita Om sendiri, Aurora sudah kabur dari rumah lantaran nggak ingin menuruti perintah Om untuk menikahi saya ... Saya sendiri bukan tipe pemaksa, Om. Jika Aurora memang tidak mau, ya ... Lebih baik, biarkan saja."
"Bodohkah kau?" semprot Roland. "Mesti berapa kali saya bilang, apa alasan saya memaksakan pernikahan kalian harus terjadi? Bukan hanya sekedar soal memperluas jaringan dengan Tamawijaya, tapi ini lebih dari itu! Saya ingin mengembalikan nama baik keluarga Wardana dan Tamawijaya!"
"Ya, Om, saya paham. Tapi yang ditinggal pergi di depan orang banyak adalah saya. Saya juga punya perasaan, Om."
"Justru itulah makanya pernikahan kamu dan Aurora harus terjadi! Agar tidak memperpanjang pergunjingan orang-orang! Apa betul kamu tidak mau lagi dengan anak saya, hah?"
Luan menelan ludah.
"Jawab, Luan! Apa kau sudah hilang minat juga menikahi anak saya?!"
Luan menggeleng. "Sejujurnya ... Saya sangat sayang pada Aurora, Om. Penolakan yang Aurora lakukan, benar-benar membuat saya sakit."
"Nah! Kalau kau bisa menikahi Aurora, maka itu bisa menjadi kesempatanmu untuk merebut hatinya lagi, dong! Kalau kau sebelumnya bisa melakukannya, apa salahnya kalau kau lakukan lagi hal yang sama! Bikin dia jatuh hati lagi padamu! Setelah menikah pun tidak apa! Yang penting pernikahan kalian tetap terjadi!" seru Roland berapi-api.
Luan terdiam di kursinya.
"Bagaimana? Bisa? Mesti bisalah. Apa kau mau lihat pujaan hatimu berbahagia dengan pria lain? Tidak, kan? Kau pasti ingin memilikinya, kan?"
Luan terlihat gelisah.
"Kurasa kamu sudah kembali yakin akan menikahi Aurora," simpul Roland sambil tersenyum mengangguk-angguk. "Sekarang dengarkan saya, Luan. Saya sudah siapkan skenario yang bagus agar Aurora mau keluar dari persembunyiannya dan mendatangimu."
***
Sudah seminggu ini Aurora berupaya keras membuat dirinya kerasan tinggal di sebuah kamar kost yang kecil. Ia yang adalah seorang Nona Muda, tinggal di istana dan mengenakan gaun emas, tidak pernah merasakan kesusahan sedikit pun. Untuk kebutuhan sehari-hari, mana pernah Aurora turun tangan sendiri? Begitu bangun tidur, air mandi serta perlengkapan mandi sudah disiapkan semuanya. Penata rambut juga sudah stand by di tempatnya begitu Aurora selesai membersihkan badan. Sarapan telah siap tersaji di ruang makan, begitu pula saat siang hari dan malam harinya. Pendek kata, semua pekerjaan rumah tangga adalah hal yang asing bagi Aurora lantaran terbiasa hidup nyaman.
Namun kini, tidak ada pilihan lain bagi Aurora selain menerima bahwa ia harus membiasakan diri hidup disiplin dan mulai belajar mengerjakan segala urusan rumah. Tinggal di kamar berukuran 3 x 4 meter, sepersepuluh kali lebih kecil daripada kamar istimewanya di rumah. Tanpa pendingin ruangan, hanya angin pengap yang dihembuskan kipas angin kecil. Kulit halus Aurora dihiasi beberapa bentolan merah kecil akibat makhluk penghisap darah yang baru kali ini Aurora rasakan keganasannya.
Tapi meskipun kepanasan, tidak nyaman, gatal-gatal akibat nyamuk, Aurora berusaha tidak protes. Kenyataan bahwa saat ini ia bisa tinggal di bawah satu atap bersama Sena yang dicintainya, membuatnya enggan mengeluh. Ya, Aurora menyewa kamar di kostan yang sama dengan Sena, dan kamar mereka bersebelahan. Tidak terjadi apa-apa antara mereka meski diam-diam Aurora mengharapkannya, namun rupanya Sena tipe yang tidak suka mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Aurora baru saja usai menyapu kamarnya sendiri. Butiran debu halus menyelusup masuk ke antara sandal dan jemari kakinya, membuat Aurora merasa risih, ingin segera membasuh kaki. Namun langkah Aurora terhenti saat melihat Sena baru saja menginjakkan kaki di lantai dua.