Tanpa Luan inginkan kelebatan peristiwa di masa lalu mengusik pikirannya. Bagaimana bisa dia melupakan dinginnya sikap Santoso pada dirinya sejak masih sekolah. Luan selalu dituntut agar terus berprestasi, namun tidak pernah sekali pun dia mendapatkan pujian atas semua hasil pencapaiannya. Bahkan yang mengambil rapor Luan di sekolah selalu supir pribadi Santoso, sampai Luan pernah merasa bahwa dia sebenarnya anak si supir, bukannya anak Santoso.
Luan tidak pernah memprotes sikap Santoso itu, dia beranggapan memang seperti itulah pembawaan Santoso. Dingin, dan tidak bisa dekat dengan anak. Jika saja Luan tidak pernah mengetahui bahwa Santoso diam-diam menyekolahkan seorang anak lain dan lebih sering bertemu dengan anak itu ketimbang dengan dirinya. Ya, anak itu adalah Sena Pramudya.
Puncaknya adalah saat Luan diwisuda. Santoso terang-terangan menolak terbang ke Neabofrench untuk menghadiri acara spesial Luan, dan lebih memilih hadir di acara wisuda Sena.
Wisuda Sena lebih penting daripada wisuda anaknya sendiri, demikian simpul Luan saat itu. Susah payah Luan menahan rasa sakit hati dan kecewa yang teramat sangat pada sang ayah. Mengapa Santoso lebih berat pada Sena ketimbang dirinya?
Sudah lama Luan mencurigai bahwa Sena sebenarnya adalah anak Santoso. Jelas terlihat dari perlakuan Santoso yang selalu lebih condong pada Sena!
Namun sampai sekarang pun Santoso tidak pernah mengakui bahwa dia memiliki anak lain, sehingga sampai saat ini generasi penerus yang menyandang nama besar Tamawijaya hanyalah Luan seorang. Untuk hal itu Luan bersyukur, setidaknya dia tidak perlu berbagi jatah kekuasaan di kantor dengan Sena. Sena selamanya Pramudya, tidak perlu diganti yang lain.
Biarkan saja Sena terus berada di kalangan menengah, berjuang mati-matian mengais rezeki demi menghidupi dirinya sendiri. Sena tidak perlu dianggap sebagai Tamawijaya, dia tidak layak. Kalau dia layak menerimanya, tentu sudah sejak dulu Santoso memperkenalkan Sena pada publik, kan?
Inilah yang menjadi alasan mengapa Luan bersikap dingin dan sombong pada Sena. Dia enggan mengalah untuk kesekian kalinya pada Sena. Tidak lagi-lagi. Terlebih urusan Aurora.
Menyadari lawan bicaranya hanya berdiam diri, Sena mengulang. "Bagaimana, Luan? Anda sanggup?"
Luan tersadar dari lamunan. "Apa?" tanyanya cuek.
"Permintaan saya tadi ... Saya ingin Anda bahagiakan Aurora," tegas Sena.
Senyum percaya diri terkesan licik terukir di bibir Luan. "Anda tidak perlu meminta hal itu dari saya. Tanpa perlu diminta pun saya pasti akan memperlakukan istri saya dengan baik, sebab saya menyayanginya. Dan hanya saya seorang yang pantas dan layak menjadi pendampingnya," jawab Luan.
Sena termenung. Lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Jika memang Anda menyanggupi. Saya percaya omongan Anda bisa dipegang. Trims atas waktunya, Luan, saya pamit dulu," ujarnya seraya bangkit berdiri.
"Semoga kita nggak akan pernah berurusan lagi," gumam Luan.
"Maaf?"
"Oh. Nggak. Bukan apa-apa. Oke, terima kasih kembali, Sena. Hati-hati di jalan."
Sena meninggalkan Luan di ruang meeting dengan hati yang kalut. Gamang. Inilah akhirnya. Dia memang mutlak harus merelakan sang kekasih. Padahal sudah sejak dahulu dia sadar bahwa hubungannya dengan Aurora memiliki banyak halangan, bagaimana bisa dia tetap nekad memelihara afeksi terhadap gadis itu?
Tapi bukankah orang bilang, cinta tidak harus memiliki? Bukankah merelakan orang yang dicintai agar bisa bahagia dengan jalan hidupnya sendiri, merupakan bentuk perwujudan cinta yang sejati?
Berbekal hal itu, Sena membesarkan hati. Semoga Aurora berbahagia dengan Luan ... Hanya itu yang Sena harapkan.
Sena terlalu asyik melamun hingga tidak menyadari keberadaan seorang karyawati yang berjalan ke arahnya. Karyawati berambut panjang ikal itu tampak sibuk membawa setumpuk dokumen, hingga tidak melihat sosok Sena dari arah berlawanan.