Hingga malam menjelang hari besarnya, Aurora kerap murung, tak bersemangat. Bagaimana bisa bersemangat atau pun excited bila harus terpaksa menikah dengan seseorang yang tidak dia cintai? Meski memang antara dirinya dan calon suaminya itu pernah beberapa lama menjalin hubungan, namun rupanya nama Luan sudah absen dari hati Aurora. Sebab yang Aurora impikan hanyalah Sena, Sena seorang. Baginya tidak ada yang bisa menggantikan posisi Sena ...
Kakinya melangkah gontai menuruni anak tangga, ingin sekedar mencari angin di bawah. Sebab meski sudah lewat tengah malam, namun Aurora tetap tidak bisa terlelap tidur. Pergumulan batin yang dirasakannya, kekecewaan terhadap Sena yang malahan memintanya agar serius pada Luan, juga marah terhadap situasi dan kondisinya saat ini, semua itu sudah cukup mendera Aurora. Betapa ia ingin semuanya tidak rumit seperti saat ini.
Samar terdengar suara orang bercakap-cakap di teras belakang. Suara ayahnya dan suara Luan, Aurora bisa langsung mengenali dengan mudah.
Papa belum tidur, batin Aurora. Luan juga sedang apa di sini, bukannya dia di rumahnya?
Urung ke teras, Aurora bersandar di balik dinding, mencuri dengar apa yang kedua pria itu bicarakan.
"Akhirnya hari ini tiba juga, Luan," ujar Roland. "Saya tidak sabar ingin segera melihat kamu dan Aurora resmi! Hanya itu yang saya inginkan."
Luan tersenyum menanggapi sang calon ayah mertua. "Benar, Om," sahutnya.
"Tidak sia-sia perjuangan kita berdua membuat Aurora kembali, huh? Terutama kamu. You did such a good job."
"Nggak, Om. Justru semuanya ini berkat Om Roland," elak Luan. "Om yang telah berjasa mengatur agar Sena berada di ujung tanduk, sehingga saya bisa masuk di saat yang tepat. Kalau saja dia nggak terjebak di situasi yang rumit seperti saat itu, nggak mungkin Aurora mencari saya meminta pertolongan."
Roland mengangguk-angguk. "Ini memang hasil kerja sama kita berdua."
"Saya juga senang karena Om lebih memilih saya ketimbang Sena. Saya merasa tersanjung, Om. Terima kasih."
Roland terbahak. "Omongan apa itu, Luan? Sudah selayaknya kamu yang menjadi menantu saya! Saya nggak terima lelaki lain yang nggak sepadan dengan anak saya. Hanya kamu seorang yang layak!"
Luan tersenyum, merasa menang.
"Sudah tengah malam. Pulanglah. Kau harus segar saat acara besarmu nanti," ujar Roland.
"Baiklah, Om. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu," sahut Luan.
Di balik dinding, wajah Aurora pucat pasi. Ternyata kejadian Sena diteror oleh lintah darat dan harus mengeluarkan sebegitu besar jumlah uang hanyalah rekayasa belaka!