Suara seorang pria menggema, mengalahkan suara Pastor yang seketika terdiam diikuti oleh tatapan mata semua orang yang menoleh ke arah asal suara.
Pemilik suara itu berdiri dengan gagah di sana, di barisan belakang bangku umat. Sena.
"Sebuah pernikahan paksa tidak akan direstui gereja, kan? Saya sanggup bersaksi bahwa pengantin perempuan tidak dalam kondisi yang ikhlas dan senang hati untuk menikah. Jadi lebih baik hentikan semua ini," ucap Sena lantang, seakan tidak peduli geremangan suara sekaligus tatapan sinis orang-orang yang dialamatkan padanya.
Tangis Aurora nyaris meledak, senang sekaligus lega mendengar perkataan Sena yang jelas-jelas membuat semua orang, terutama Pastor, terdiam seribu bahasa. Terlebih saat Sena mendekati dirinya dengan langkah lebar, tentu bermaksud membawanya pergi.
"Sena ...," panggil Aurora lirih.
Tidak ada yang bisa melukiskan betapa leganya hati Aurora saat ini. Seakan beban berat yang ditimpakan di bahunya, yang membuatnya sesak bernafas, telah diangkat dan dibuang jauh-jauh. Bayangan kehidupan yang membahagiakan hati memenuhi kepalanya.
Sena sudah berdiri di hadapannya, mengulurkan tangan. Dan saat Aurora hendak menyambut uluran tangan itu ...
Aurora tersadar dari lamunan.
Semua itu hanya imajinasi belaka!
Tidak ada Sena. Tidak ada yang menghentikan ritual keagamaan ini. Tidak ada apa pun selain dirinya dan semua orang yang khidmat mendengarkan kotbah Pastor. Luan yang ada di sebelahnya juga tampak serius mendengarkan.
Aurora menelan ludah, semakin merasa berkecil hati. Bahkan untuk sekedar berangan-angan pun sepertinya tidak diperbolehkan. Inikah akhirnya? Benar-benar harus menjadi istri seorang Luan yang tidak dicintainya?
Hingga tiba prosesi ritual yang dinanti-nanti, Aurora masih seperti mayat hidup. Ia bahkan tidak menyadari apa saja yang terjadi di hadapannya, dan baru tersadar saat Pastor menyebut namanya. "Aurora Wardana, bersediakah Anda menerima Luan Tamawijaya menjadi suamimu dan berjanji setia mengabdikan diri kepadanya dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, serta mau mengasihi dan menghormati dia sepanjang hidupmu?"
Tidak, jawab Aurora lantang dalam hati. Nggak. Aku nggak bersedia!!
Sanggup dan tegakah Aurora menjawab kata tidak?
"Tidak, saya tidak bersedia." Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulut Aurora, dan jelas, semua orang terperanjat mendengar itu. Terlebih sang Pastor, dan tentu saja, Luan.
Dengan senyum penuh kemenangan Aurora melepaskan tudung berenda yang dikenakannya, lalu mencampakkannya ke lantai. Sungguh puas hatinya melihat ekspresi Luan yang bercampur aduk. Penolakan telah dilakukan, kini saatnya angkat kaki.