Tidak hanya Luan yang nelangsa. Tidak hanya Aurora yang patah hati. Keadaan itu juga telak dialami oleh Sena. Terpaksa harus merelakan gadisnya untuk menikah dengan orang lain, tentu adalah sebuah pengorbanan yang berat.
Sudah sebulan berlalu semenjak hari pernikahan Aurora dan Luan, Sena masih sering mendapati dirinya termenung tanpa kenal waktu, dia kerap teringat akan Aurora. Terlebih, jika Sena mengenang kejadian-kejadian saat mereka terakhir bersua. Saat itu Aurora tampaknya kesal dan kecewa terhadapnya. Sena pun tidak datang pada acara pernikahan mereka. Semua hal menyesakkan itu membuat dadanya bergemuruh, terasa sesak, menyadari dirinya dan Aurora berpisah dengan cara yang kurang baik.
Tapi cerita Sena dan Aurora telah resmi berakhir, bukan? Aurora kini sudah resmi menjadi istri Luan Tamawijaya, dan Sena sungguh sadar dia tidak sepantasnya memelihara memori yang dia miliki bersama dengan Aurora. Pria baik hati ini juga sadar, sudah saatnya untuk move on.
Perihal Aurora sang mantan tersayang, Sena memanjatkan doa yang tulus, berharap agar Aurora berbahagia dengan pernikahannya. Sungguh-sungguh berbahagia, itu yang diinginkan Sena. Sebab baginya, melihat Aurora bahagia dengan Luan adalah sebuah kebahagiaan juga untuknya. Betapa tulus rasa cinta Sena terhadap Aurora, jelas nyata terlihat. Sebab di balik sebuah cinta yang tulus terdapat sebuah pengorbanan yang besar juga, itulah yang terjadi saat seseorang merelakan kekasihnya dengan ikhlas.
“Heey, Sena, kok melamun?” tegur seorang wanita muda yang tiba-tiba duduk di hadapannya sembari membawa nampan berisi dua mangkuk bakso. “Kelamaan nunggu yah? Ya maklum yaa, memang beginilah kalau kita kesiangan sedikit, antriannya panjang …,” celotehnya.
Sena tersenyum menanggapi wanita itu, Inka. “Kalau emang rasanya seenak itu, wajar sih kalau selalu ramai,” sahutnya.
Inka mengangguk seraya menyajikan makanan yang ia bawa. “Nah, silakan dicoba, Sen! Dijamin nagih! Soalnya aku juga dibikin ketagihan sama bakso di sini, temen-temenku di kantor juga! Terus, berhubung aku penggemar bakso banget, aku bisa tiga kali dalam seminggu makan siang di sini!” tuturnya bersemangat sambil terus tersenyum lebar.
“Seenak itu?” Sena mengaduk isi di dalam mangkuknya.
“Seenak itu,” tegas Inka. “Mau ngerem dikit, biar nggak terlalu sering makan ini. Soalnya kalau kebanyakan makan mie nanti aku jadi melar, jadi bundar. Lihat aja nih muka aku udah bundar begini, masa mau kalahin bakpao?”
Sena menatap wajah lawan bicaranya, lalu tersenyum simpul. “Biar bundar tapi tetap manis,” pujinya.