Aurora tengah asyik membaca novel ditemani secangkir teh chamomile favoritnya. Betapa nikmat bisa menghabiskan waktu yang berkualitas sendirian. Namun air mukanya seketika berubah masam saat melihat Luan berjalan mengarah padanya. Pria itu tersenyum sambil membawa sekotak kado, entah apa isinya.
Tentu saja Luan berupaya keras mengambil kembali hati Aurora, dengan membelikannya banyak barang. Tapi tidak akan semudah itu Aurora membuka hati lagi untuk Luan. Tidak peduli Luan telah jungkir balik berupaya membuatnya senang.
Biarkan saja, ujar Aurora dalam hati. Sekarang Luan susah payah rebut hati aku, beliin aku macem-macem. Tapi nggak akan aku tanggapi! Nggak akan pernah aku terima semua pemberiannya! Biar dia tahu rasa! Dia kan udah sangat licik pada Sena dan aku! Memangnya cuma dia yang bisa berbuat seenaknya? Aku juga bisa!
"Sore, Rora ...," sapa Luan hangat. "Aku ada sesuatu untuk kamu. Buka deh, pasti kamu suka," katanya sambil meletakkan kado yang dibawanya di atas meja.
Aurora tidak berselera memandangi kado tersebut.
"Ayo buka aja," pinta Luan. "Aku yakin kamu bakal suka."
Meski tidak ingin tahu apa isi kado tersebut, tapi ada setitik rasa penasaran yang mengganggunya. Maka ia menarik pita kado, dan membukanya. Di dalamnya sebuah kotak packaging berwarna emas dengan logo patisserie ternama yang menjadi favorit Aurora. Dalam kotak terdapat selusin cokelat impor dengan bentuk yang bermacam-macam.
Aurora menahan nafas. Ini adalah cokelat kesukaannya seumur hidup. Rasanya yang tidak terlalu manis, tidak terlalu pekat di lidah dan tidak merangsang rasa haus, Aurora sanggup saja menghabiskan satu lusin jika tidak lantas eling dan mengingat berapa angka yang tertera di timbangan digitalnya.
Meskipun diam-diam Aurora senang lantaran disuguhkan cokelat, tapi kali ini berbeda. Untuk kali ini, ia terpaksa menahan diri dan mengeraskan hati. Untuk kali ini saja. Sebab yang membawakan cokelat adalah Luan, dan Aurora tidak sudi menyenangkan hati Luan dengan menerimanya.
Dengan gerakan ringan tangan Aurora melempar kotak cokelat yang ada di atas mejanya itu, membiarkan semua cokelat itu berserakan di lantai.
Luan terperangah menyaksikan perbuatannya, namun Aurora tidak peduli. Ia menyesap tehnya, lalu kembali fokus dengan novel yang dibacanya.
"Rora ... Kenapa malah dibuang? Kamu nggak suka?" tanya Luan. Meski sudah berupaya panjang sabar, namun sebersit rasa marah tetap terdengar dari nada suaranya.
Aurora tidak mau repot menjawab.
"Aurora," panggil Luan.
Tetap bergeming.
"Ra," panggil Luan lagi.
Merasa yang dilakukannya sia-sia belaka, Luan pun enggan menunggu respon Aurora. Dia berbalik meninggalkan sang istri. Strateginya memancing Aurora dengan cokelat mahal kesukaan, gagal total. Luan harus memeras otak lagi untuk kesekian kalinya.