Beberapa bulan setelahnya, Luan tidak lagi memaksakan diri mendekati Aurora. Dia menyibukkan diri dengan pekerjaan serta tanggung jawabnya di kantor. Tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian dan fokusnya selain pekerjaan. Tidak bisa bercinta dengan istri, setidaknya dia bisa bercinta dengan dokumen-dokumen yang kerap menumpuk di atas meja kerjanya.
Luan bisa menghabiskan setidaknya 15 jam di kantor, lalu pulang ke rumah hanya untuk beristirahat. Tidak lagi mengejar Aurora, tidak lagi berminat merelakan harga dirinya diinjak sedemikian rupa oleh Aurora.
Suatu hari di tengah kesibukannya, Aurora datang berkunjung ke kantor.
Luan tidak bersuara saat Aurora masuk, dari balik laptop dia hanya memerhatikan sang istri dalam diam. Selera yang bagus, demikian pikir Luan saat menilai penampilan Aurora. Memang seperti Aurora yang Luan kenal. Berkelas, anggun, menawan memanjakan mata.
"Rapat pemegang sahamnya jadi siang ini? Aku mau ikut," ujar Aurora sambil duduk menyilangkan kaki di sofa.
"Tumben," sahut Luan tak acuh.
"Kamu sendiri yang suruh aku sesekali ke kantor," jawab Aurora sengit. "Padahal daripada ke sini mendingan aku nyalon atau belanja."
"Ya ya ya. Nanti meetingnya after lunch. Kamu mau makan bareng?" tawar Luan.
Aurora mendelik jijik. "Cih. Males banget."
Luan sudah kebal dengan reaksi kejam sang istri, tidak pernah lagi tersinggung dengan responnya. "Dipesankan makan?" tawarnya lagi.
"Nggak deh. Nggak lapar. Aku nunggu di sini saja sampai meeting mulai," jawab Aurora bosan. Ia segera larut memainkan ponsel miliknya.
"Kalau begitu aku keluar lunch dulu. Kamu sendiri di sini nggak apa?" tanya Luan sembari bangkit berdiri.
"Sana pergi," sahut Aurora cuek, matanya tak lepas dari benda yang ada di tangannya.
Seketika Luan berhenti melangkah, begitu teringat sesuatu. "Rora, ada yang mau kusampaikan," katanya.
"Hm."
"Di depan banyak orang nanti, kuharap kamu mau berakting seolah kita berdua adalah pasangan yang harmonis," kata Luan.
Aurora melirik pada sang suami.