Matahari telah turun dari peraduannya. Langit pun telah berganti warna yang menunjukkan lukisan indah karya Tuhan Yang Maha Esa. Suara adzan berkumandang. Suara tersebut dapat membangunkan seorang cewek yang sedari tadi bergelung di dalam selimut hello kitty-nya.
“Huuaaahh....” Cewek itu menguap. Aurelia Sativa Harnanto atau yang biasa dipanggil Aurel. Namanya cantik, namun tak secantik perilakunya. Anak SMA tapi masih seperti anak kecil. Manja, cerewet, pemalas, tapi dia pintar. Hampir semua pelajaran dia kuasai. Selain pelajaran, dia juga aktif dalam organisasi sekolah.
“Dek, bangun! Udah maghrib!” teriak Mama sambil mengetuk pintu.
“Iya, Ma. Adek udah bangun kok!” balas Aurel turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Aurel mengambil air wudhu lalu sholat di sebelah ranjang.
Selesai sholat, Aurel keluar kamar menuju meja makan. Di meja makan, sudah penuh oleh makanan. Di samping meja makan juga terdapat keluarganya. Papa, Mama, Vano, dan Andi. Aurel mengambil tempat duduk di antara kakak-kakaknya.
“Hai, putri tidur! Nyenyak tidurnya?” tanya Vano dengan tangan kiri mengacak-acak rambut Aurel.
“Stop call me “putri tidur”. My name is Aurel,” desis Aurel. Aurel mengambil piring yang telah disiapkan oleh Mama dan mengambil nasi beserta lauknya.
“Iya, iya Aurel si putri tidur,” sahut Vano dengan menekankan kata putri tidur. Aurel langsung cemberut.
“Dek, gimana tadi sekolahnya?” tanya Papa yang langsung membuat Aurel mengalihkan perhatiannya dari Vano.
“Yaa gitu... Catnya masih abu-abu, gentengnya merah-”
“Ya itu aku juga tahu!” potong Andi, kakak keduanya yang paling menyebalkan. Andi dan Aurel adalah kakak beradik yang tak pernah akur. Ada saja masalah yang diciptakan oleh mereka.
“Lah aku harus jawab apa? Bener, kan? Papa tanyanya ‘gimana sekolahnya’ ya aku jawab catnya abu-”
“Maksud Papa itu gimana perkembangan kamu di sekolah?” jelas Papa.
“Ya gitu, Pa. Seperti biasanya. Nggak ada yang spesial.”
“Masa? Udah punya pacar belum?” tanya Vano menggoda adiknya itu.
“Ya belumlah. Gimana mau punya pacar? Orang kalian aja nggak ngasih kesempatan aku buat main di luar. Sekalinya bisa keluar itu karena ada kerja kelompok dan itupun harus ditemani Kak Vano,” cerocos Aurel menumpahkan segala yang dirasakannya. Aurel sudah benar-benar muak dengan sikap over protective keluarganya. Sejak memasuki remaja, Aurel dijaga oleh keluarganya. Ia tak tahu mengapa keluarganya itu bersikap demikian.
“Dek, kamu jangan salah paham dulu dengan sikap kami terhadapmu. Ini semua dilakukan untuk menjaga kamu dari segala marabahaya,” ujar Mama yang sedari diam.
“Ma, tapi aku kan udah besar. Aku bisa jaga diri.”
“Iya, mama tahu. Tapi kan siapa yang tahu kalau suatu saat kamu dalam keadaan bahaya,” kata Mama bijak.
“Kamu itu anak perempuan satu-satunya di keluarga ini, jadi kami merasa berkewajiban untuk melindungi kamu.” Vano menjelaskan dengan sesendok makanan di tangannya. Aurel bangkit dari duduknya dan langsung pergi ke kamarnya. Nafsu makannya sudah hilang entah ke mana.
“Dasar abg labil,” ejek Andi.
“Emang lo nggak? Beda umur setahun aja belagu,” sahut Vano.