“Alisyaaa!” panggil Bunda. “Alisyaaa! Cepat sini!” Ada sesuatu yang ingin disampaikan Bunda pada Alisya, karena itu Bunda berteriak.
Alisya buru-buru melempar bukunya dan berlari ke luar kamar. Kalau Bunda sudah berteriak, artinya ada panggilan penting. Alisya harus segera menemuinya. Kalau tidak, wah ... bisa-bisa Bunda menyerocos panjang lebar di telinga Alisya.
“Ada apa, Bun?” tanya Alisya begitu sampai di depan Bunda.
Bunda menunjukkan majalah yang dibacanya dengan tak sabar.
“Nih, lihat. Ada lomba menulis untuk anak-anak SD. Alisya mau ikut tidak?” tanya Bunda.
“Ya ampun, kirain ada masalah, Bun.” Alisya menepuk dahinya.
Alisya membaca halaman yang ditunjukkan Bunda dengan cepat. “Wow, hadiahnya gede! Uang 5 juta rupiah!”
“Bagaimana?” tanya Bunda tak sabar.
“Mau! Mau, Bun!” teriak Alisya.
Bunda mengacungkan jempol. “Bagus. Ini kesempatan untuk belajar menulis, Alisya,” ujar Bunda mengacak-acak rambut Alisya.
“Kalau aku menang, boleh beli tab kan, Bun? Ya? Ya?”
“Beli tab? Nulis saja belum, gimana mau menang. Kapan mau mulai nulis? Ayo, Bunda tantang kamu.” Bunda tertawa. Bunda tahu, sudah lama Alisya ingin punya tab. Namun, Bunda dan Ayah sepakat untuk tidak membelikan alat komunikasi apa pun, kecuali Alisya membelinya dengan uangnya sendiri.
“Eeeng ... nanti deh, habis mandi, Bun,” janji Alisya.
“Bener?” tanya Bunda tak yakin. “Jangan sampai terlambat kirim, Alisya. Ingat tiga bulan lalu, kamu enggak jadi ikut lomba nulis karena menunda terus,” Bunda menatap Alisya tajam.
“Iya ... iya ... enggak akan terjadi lagi, Bun,” tegas Alisya. “Alisya akan sungguh-sungguh.”
Bunda menyilangkan kedua tangannya di dada, memandang Alisya dalam-dalam, tak percaya perkataan Alisya. Sudah berkali-kali Alisya berjanji, tetapi tak ditepati.
“Kamu masih bercita-cita jadi penulis, kan? Atau ingin jadi yang lain?”
Alisya mengangguk kuat-kuat. Dari dulu, keinginannya untuk menjadi penulis tidak pernah hilang. Meskipun begitu, Alisya juga punya cita-cita yang lain. Namun, kalau bisa tercapai semuanya, kenapa tidak?