“Alisya, main, yuk!” teriak Chika dari depan rumah.
Alisya yang baru sampai rumah buru-buru ke depan.
“Eits, mau ke mana?” tanya Bunda sambil melipat kedua tangan.
“Main, Bun,” jawab Alisya.
“Ganti baju dulu, gih. Hari ini ada yang mau dikerjakan enggak?” tanya Bunda seperti polisi.
Alisya mengangguk, teringat tulisan untuk lomba yang belum selesai.
“Eng ... ada. Tapi, sebentar saja kok, Bun. Nanti aku ketik.”
“Oke. Bunda catat janjimu,” kata Bunda. “Tepati, ya.“
Alisya langsung menghambur ke luar rumah. Di depan rumah, Chika tersenyum lebar di atas sepedanya. Aku harus bisa bilang “enggak”, aku harus bisa bilang “enggak”, batin Alisya berulang-ulang dalam hati.
“Maaf, mainnya nanti saja, ya. Aku mau ngetik dulu,” kata Alisya cepat-cepat.
“Kenapa sih kamu ngetik terus kerjaannya? Males ah, main sama kamu.” Chika protes. Dia langsung pergi meninggalkan Alisya.
“Chika!” panggil Alisya.
“Aku mau ajak Putri aja. Dia pasti mau,” balas Chika. “Enggak kayak kamu.”
Gawat! pikir Alisya.
“Chika! Kamu enggak ingat apa yang dilakukan Putri dulu?” teriak Alisya. Dia tak suka Putri karena suka berbohong.
Terlambat, Chika sudah telanjur marah. Chika pergi tanpa menoleh lagi. Alisya jadi sedih. Jangan-jangan, Chika beneran enggak mau main lagi, pikirnya. Bagaimana kalau dia berteman sama Putri?
“Selamat siang. Benar ini rumah Bu Danish?” tanya seorang laki-laki mengagetkan Alisya.
Alisya mendongak. Tukang pos.
“Iya, Pak,” jawabnya. Bunda sering mendapatkan kiriman paket. Entah itu buku sebagai bukti terbit atau surat perjanjian penerbitan. Namun, kali ini, paketnya besar sekali.
“Ada kiriman paket, Dik. Silakan tanda tangan di sini.” Pak Pos memberikan selembar kertas untuk ditandatangani Alisya. Setelah itu, Alisya menerima paketnya. Duh, berat sekali! Apa sih isinya? pikir Alisya.
Alisya masuk rumah sambil berteriak. “Bun, ada paket, nih!”
Bunda buru-buru mendatangi Alisya. “Kebetulan sekali, Bunda sudah menunggu-nunggu paket ini,” ujar Bunda senang.
“Apa sih isinya, Bun? Dari mana?” Alisya penasaran.