Jam terakhir pelajaran bahasa Indonesia, kepala sudah pusing dengan kata-kata ajaib bu Neta. Perempuan jelang empat puluh tahun itu masih asyik dengan dongengnya tentang majas metafora, personifikasi, sarkastis, entah apalagi aku gak ingat lagi. Sejak konfrontasi di depan pak Tiyono waktu itu, bu Netta bersikap lebih hati-hati denganku. Aku tidak peduli, sikapnya tidak memengaruhi hidupku.
Putra pura-pura menulis, padahal aku jamin yang dikerjakan hanya pencitraan semata. Putra tidak suka bahasa Indonesia, apalagi yang bau-bau sastra. Alergi!
"Putra, coba kamu buat contoh majas personifikasi," titah si nenek lampir membuyarkan lamunan Putra. Benarkan pencitraan, lihat tuh wajahnya pucet. Wajah begonya menoleh kearahku mencari pertolongan. Aku pura-pura tidak melihatnya, biar tahu rasa si kriwil sok solider gak jelas itu.
"Ru, apaan? Tolongin dong," bisiknya lirih. Melihatku tidak bereaksi, Putra mencolek lenganku.
"Apaan?"
"Haru, jangan mengganggu Putra. Biarkan dia berpikir!" Suara cempreng bu Netta mengalihkan semua mata kearahku. Kenapa jadi aku yang salah? Bener kan, nenek lampir itu masih dendam denganku. Padahal apa yang sudah kulakukan padanya, sebelum kejadian aku keluar kelas itu?Kurang sajen tenan.
Bukannya seneng, Putra terlihat makin pucat, kesempatan mendapat pertolongan hilang sudah. Rambut ikalnya digaruk perlahan.
"Sudah jawab aja. Asal juga gak apa-apa," bisik Bowo yang duduk di belakang kami. Putra melirikku sekali lagi, tidak tega melihat sahabatku yang sebenarnya sedang menyebalkan itu. Kusodorkan catatan kecil yang sempat kutulis. Putra tersenyum kecil sebelum membuka mulutnya.
"Matahari berkejaran dengan bulan untuk menguasai langit malam,"
"Wah romantis kamu Put, lagi jatuh cinta ya?" Goda bu Netta, Putra tersenyum tengil. Lirikan tajamnya kembali dilemparkan padaku. Apalagi sih, sudah dibantuin gak ada terima kasihnya! Umpatku dalam hati.
Kecurigaan Putra dilampiaskan lagi ketika kami keluar sepulang sekolah.
"Jadi siapa yang membuatmu jatuh cinta?" Kejarnya tanpa ampun.
"Apaan sih? Dibantuin itu berterima kasih bukan malah curiga!" Elakku belum berani jujur. Masih banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Masih menyakinkan diri, kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya.
"Jujur aja apa susahnya sih!"
"Jujur kacang ijo! Hahaha;" Putra melempar tasnya. Untung tidak kena, gila aja tas segede itu.
"Jangan kabur!" Teriaknya mengejar. Putra berhasil menangkapku. Tangannya dengan cepat mengunci leherku. Aku berontak, Putra malah tertawa.
"Sakit kampret! Emangnya aku jatuh cinta sama siapa?" Bentakku jengkel, setelah dia melepaskan kunciannya. Beberapa pasang mata menoleh ke arah kami penasaran. Sial, tambah lagi yang sok tahu!
Kutinggalkan Putra yang masih bahagia dengan tawanya. Dengan kesal kustater motorku, dan melaju cepat. Kuninggalkan Putra dengan helm ditangannya. Rencananya hari ini kami akan pulang bareng untuk mengerjakan tugas bersama dirumahnya. Biar saja acara membuat tugas itu batal, aku sedang tidak ingin berbagi tebengan untuk cowok resek itu.
Aku tidak tahu cara berpikir Putra, bagaimana dia menjadi super curiga padaku? Kami sudah bersahabat sejak kelas 10, seharusnya dia mengerti aku cowok seperti apa. Aku gak suka mainin cewek, kalau ada yang merasa aku mainin itu mereka yang kegeeran. Aku gak naksir sebarang gadis, catat itu!