"Gila kamu Ru? Mbak Arcane?" Teriaknya kaget. Sontak beberapa mata bapak-bapak yang sedang nongkrong di ujung sana melempar tatapan heran. Aku tersenyum kikuk.
"Maaf...maaf," pintaku sambil menangkupkan kedua tanganku ke dada. Aku menunduk malu.
"Dasar bocah," celetuk tidak senang dari salah satu kumpulan laki-laki itu.
"Ora usah bocah, sing tuwo yo sok ngono. Ra iyo to," sahut yang lain menimpali.
"Bener Jo, malah ngluwihi," Tawa membahana memecah kesunyian yang sempat terjadi. Aku jadi sedikit lega.
"Berisik ah! Malu-maluin!" Omelku pura-pura marah. Putra menatapku serius, kedua alis matanya bertemu.
"Kenapa?" Putra bergemimg, diseruputnya kopi susu yang masih setengah. Kepalanya menggeleng-geleng bingung.
"Ru, Mbak Arcane itu mahasiswa yang sebentar lagi lulus. Kita baru kls 2 SMA, beda usia kita jauh Bro," Aku tersenyum masam mendengar keberatan Putra
Emang salah suka sama cewek yang umurnya lebih tua? Lagian dia gak kelihatan tua kok, dengan tubuh semungil itu masih pantes jadi anak SMA. Orang kalau suka maksa banget ya hahaha..
"Emang kenapa kalau dia sudah mau lulus?" Tanyaku ngotot. Putra mendesah, entah apa yang dipikirkan sahabatku itu. Dia terlihat keberatan dengan perasaanku, apakah Putra juga menyukai gadis pujaanku itu?
"Jangan bilang, kamu suka..."
"Edan, gaklah! Dari kecil aku kenal mbak Arcane, dia yang mengajari kami banyak hal. Dia seperti kakak tertua kami," potong Putra cepat. Ekspresi wajahnya berubah datar. Aku mengangkat bahu, benar-benar tidak paham gaya misterius Putra.