My Name is Haru

Kingkin Prasetijo
Chapter #3

My name is Haru 3

Aku sudah menebak apa yang akan terjadi esuk hari. Si nenek lampir tidak akan melepasku begitu saja. Sang peri meletakkan harga dirinya terlalu tinggi. Atau aku yang terlalu kurang ajar? 

Jam pelajaran ketiga, Bowo ketua kelasku membawa berita itu, aku dipanggil kepala sekolah. Dugaanku benarkan? Senyum sinis tersungging di sudut bibirku, senyum untuk sifat kekanakan mantan wali kelasku.  

Kutinggalkan kelas setelah minta izin ke Bu Mira, guru Kimia sekaligus wali kelasku yang baru. Perempuan cantik itu tampak mengkuatirkanku, tatapan matanya menunjukkan perasaannya. Aku tersenyum semanis mungkin, membesarkan hatinya bahwa aku tidak apa-apa. Bersyukur masih ada guru baik di sini.  

Kuketuk pintu ruang kerja pak Tiyono beberapa kali, sampai ada izin untuk masuk. Laki-laki berkacamata itu sedang sibuk dengan berkas-berkas di depannya, matanya menatapku sebentar lalu kembali fokus pada kertas di depannya.  

"Duduk dulu Har, Bapak selesaikan ini sebentar," perintahnya sambil membereskan meja.

"Baik Pak," Aku langsung duduk di sofa ruang tamu agak jauh dari meja kerjanya. Sambil menunggu beliau selesai, mataku tidak beralih dari kesibukannya.

Beberapa menit kemudian, pak Tiyono berdiri lalu berjalan mendekatiku. Wajah tuanya terlihat datar seperti biasa, tidak ada kemarahan di sana. 

"Kemarin ada apa? Kenapa meninggalkan kelas tanpa pamit?" Tanyanya lembut. Aku tersentak, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan selembut itu. 

Aku masih diam, tidak tahu harus menjawab apa. Cara beliau berbicara membuat emosiku terjun payung sampai ke titik nol. Aku pikir akan menerima kemarahan yang berapi-api seperti kemarin. Aku lupa, yang kuhadapi pak Tiyono bukan si Nenek Lampir atau bapak wakil kepala sekolah yang bersikap lebih bossy.    

"Haruskah marah dengan cara seperti itu? Bu Netta itu mantan wali kelasmu, beliau sayang sama kamu." Aku mendengkus mendengar pembelaannya, sayang apanya? Kalau sayang bisa disalurkan dengan gaya seperti itu, aku lebih baik tidak disayanginya. Dia sudah berlaku seenaknya.

Sejak kenaikan kelas beberapa bulan lalu, bu Netta berubah. Dari dulu wajahnya memang tidak bersahabat, tetapi sekarang makin tidak bersahabat. Setiap masuk kelas ada saja kalimat menyakitkan yang dilemparkan padaku. Selama ini aku diam, tidak mau terpancing.

Sekolah aku bayar, aku tidak merugikannya dan tidak minta makan dari dia. Apa salahku? Apa dia merasa berjasa dengan menaikanku ke kelas 2, makanya minta dihormati? 

"Haru, Bapak cukup mengenalmu. Kamu pernah melakukan kesalahan yang hampir membuatmu dikeluarkan, kenapa sekarang mengulang lagi? Ada apa, coba jelaskan! Bapak mau mendengar cerita versi kamu," katanya bijak. Kutatap netra tenang dibalik kacamatanya, pak Tiyono melakukan hal yang sama.  

"Saya tidak tahu, kenapa bu Netta marah padahal saya sudah menjawab pertanyaannya dengan baik," jawabku dengan suara rendah.  

"Katanya Kamu tidur ketika diajar," sambungnya. 

"Menurut bapak, kalau saya tidur apakah saya bisa menjawab pertanyaannya dengan baik?" Pak Tiyono malah tersenyum, tidak tahu apa maksudnya. 

 "Bapak mengerti. Kamu benar-benar Haru,"   

Lihat selengkapnya