***
Seorang cewek menaiki skateboard hitam dengan lesat ringan di jalanan. Rambut hitam kecokelatanya meliuk-liuk bebas diterjang angin. Seragam putih abu khas anak SMA kontras dengan perawakanya. Melewati beberapa orang berseragam rompi yang terhitung sedikit dan sisanya berseragam jas biasa. Rahang kerasnya seolah siap menantang apapun yang ada di depannya. Gerbang SMA Binaan Nusa Provinsi (Binusvi) terlihat di sebrang jalan raya. Dia mengamit tas hitamnya santai dan menyebrangi jalan sepi, masih 06.05.
Satpam mengangguk tanda menyambutnya sambil tersenyum,
“Widiih, neng Elza masih cakep aja…,"
Ya, cewek yang biasa dipanggil Elza ini mengangguk, sekilas tersenyum. Tersenyum? Lebih tepatnya ia sedang menyeringai. Tepat di depan gedung utama, turun dan menenteng skateboardnya masuk. Kalau mau percaya, di dalam otaknya kini tengah berpikir. Tadi itu siapa?
“Elza!” Sapa seorang perempuan dengan wajah blasteran jepang-indo nyasar. Matanya yang lumayan sipit, tapi sipitan mata Elza. Lekuk wajahnya sepintas terlihat kotak, pipi chabi, dan kulit setara orang jepang.
“Blasteran…Jepang…Hana?”
“Lila, Za. Masak sahabat sendiri masih lupa?” Senggol Lila memaklumi sifat Elza yang seperti ini.
“Ya, maksud gue Lila,” balasnya. Mereka memasuki kelas 12 MIPA 2, angkatan terakhir yang mewarisi seragam rompi yang sebelumnya sudah turun menurun dan menyisakan mereka. Terkecuali dengan adek kelas yang sudah berganti menjadi seragam jas biasa. Bagus juga untuk membedakan mana senior dan mana junior.
Pagi seperti ini tetap tak menghalangi keramaian kelas.
“Sikapnya enggak bisa diubah dikit napa? Bikin gue gula darah setiap pagi, maunya Vicki apa sih? Kenapa selalu gak bisa baik sama gue?” Fairuz menghampiri Elza dan Lila bersama celotehan emosinya.
“Toak dateng, toak dateng…,” cibir Lila.
“Gula darah, gundulmu. Ngapain sih ngurusin pak Jenggot mulu?” Tanya Elza risih dengan pembahasan ini. Fairuz duduk disamping Azza yang sibuk dengan hpnya. Fairuz semakin menekuk muka, seraya mendelik.
“Denger, Vicki enggak jenggotan. Lo jangan bayangin wajah orang sembarangan,” Fairuz meralat.
Tak heran lagi pada Elza yang sampai sekarang masih sering salah wajah orang sampai kadang nama juga ikut salah. Bahkan sempat beberapa kali Elza lupa wajah orang tuanya sendiri. Membuat orang lain hanya mengelus dada karna kebiasaan anehnya selama ini.
“Lo tahu kan gimana sikapnya Vicki selama ini sama gue? Ah, jangan bilang lo ingetnya wajah pak Bon tukang bersih-bersih janggutan itu?”
“Auliaー“
“Lihat gue, nama gue Fairuz!” Fairuz meralat sambil melotot membalik tubuh Elza untuk menatapnya. Lila terkekeh pelan.
“Oke, Fairuz. Suruh siapa rambut lo sama kayak Aulia, canda Fai. Barusan gue juga disapa pak Bon depan gerbang,” Elza nyengir kuda.
Lila ikut mendelik tak percaya, padahal yang barusaja menyapanya di depan gerbang itu pak satpam. Sahabatnya berusaha memaklumi kebiasaan buruknya. “Mungkin si Rehan cari perhatian sama lo atau emang lagi bosen mungkin, kan elo seru dijahilin.”
“Vicki, Za…”
“Iya, Vicki,” Elza meringis menahan malu. Padahal Elza mahir dalam mengingat jurus ataupun pelajaran di bidang olahraga. Hanya saja Elza tidak mengerti, kenapa dia begitu kesulitan mengingat wajah orang sampai salah nama?
Elza pikir dirinya mengidap Alzheimer. Tapi setelah melakukan pemeriksaan berulang, Elza sama sekali tidak mengidap penyakit yang biasanya diderita para lanjut usia itu. Dokter hanya memberi tahu kalau ini efek dari operasinya saat kecil, mau ditanya berapa kalipun dokter dan orang tuanya sekedar menjawab operasi ringan. Tapi ini berhasil membuat Elza dipanggil ‘Si Pikun’ oleh teman-temannya.
“Gak bosen nanggepi Vicki mulu?” Lila menepuk punggung sahabatnya yang duduk dibangku depannya.
“Udahlah … entar juga capek sendiri tuh orang. Makin lo nanggepin dia, makin dia seneng nyari perkara sama elo,” ujar Anggita yang tanpa sadar sedari tadi mendengarkan percakapan mereka.
“Lo gak tau kan perasaan gue? Disaat gebetan lo sendiri nempel foto aib lo di mading?” Fairuz berbalik. Menatap Anggita yang duduk manis dibangkunya. Tak lagi khawatir kalau pembicaraan seperti ini didengar temannya yang lain.
“Yah, serah elo dah. Tapi gimana nasib gue sama Alano?! Pacar model LDR-an. Untung cakep, beruntung gue.” Lila menghembuskan napas pasrah tak tau lagi apa yang akan dilakukan Fairuz. Begitu juga dengan nasibnya yang berpacaran dengan Alano sejak SMP dengan model LDR karna beda sekolah, mereka masih bisa bertahan sampai sekarang.
“Lo, sih. Banyak ditembak cowok deket, diterimanya yang jauh,” decak Elza mengingat banyak yang menyatakan perasaanya pada Lila.
“Elo enggak ngerasain gimana malunya, foto aib gue di mading udah gitu posisinya enggak waras lagi.” Fairuz mendengus, kesal dengan sikap teman-temannya yang tak pernah mengerti perasaannya. Sekilas tidak mempedulikan kalimat Elza.
“Emang elo kapan bisa waras?” Lila sudah tertawa terpingkal-pingkal. Anggita yang sempat ikut percakapan itu juga sampai terbahak sambil memukul meja. Elza hanya meringis, terlalu malas untuk tertawa. Melihat kedua temannya tertawa, Fairuz semakin kesal setengah mati. Dia menghentakkan kaki, berdiri, lalu menyeret Elza pergi meninggalkan kelas.
“Njir, lepasin woi!” Elza mengenyahkan tangan Fairuz tak nyaman dengan paksaan.
Fairuz tidak mendengarkan, terus berjalan tak peduli rutukan Elza. Terpaksa Elza mengikuti langkah cepat Fairuz, mengingat kalau Fairuz ini sahabat yang cukup mengkhawatirkan. Fairuz hendak membuat perhitungan. Dia akan balas dendam pada pemuda sok keren, yang pernah menjadi rival bebuyutannya sampai jadi gebetan yang kurang waras seperti sekarang.
Berjalan sekitar lima menit, akhirnya mereka sampai dikantin sekolah. Jam menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit. Artinya, mereka hanya punya waktu lima belas menit sebelum jam pelajaran pagi dimulai.
Fairuz mengedarkan pandangan, meneliti orang-orang yang berlalu-lalang ramai didalam kantin. Mendapatkan buruannya dengan seragam khas rompi tampak sedang menikmati soto ayam di meja paling sudut dengan kedua temannya, Fairuz tersenyum bengis. Dan sekali lagi ia menarik pergelangan Elza tanpa belas kasih.
Yang diseret melontarkan sumpah serapah, merasakan nyeri.
“HEH!” Tanpa segan, Fairuz yang sudah berdiri di belakang Vicki yang tengah duduk, menoyor kepalanya sekuat tenaga. Membuat kepalanya terdorong maju dengan wajah miris menghantam mangkuk soto yang masih penuh. “MAKSUD LO APA, HAH?!!”
Fairuz cari mati. Tak terlihat takut sama sekali, saat Vicki yang masih syok itu mulai berdiri kemudian berbalik, menatap geram pada Fairuz.
“Apa, apanya? Harusnya gue yang nanya, maksud lo apa bikin muka ganteng permanen gue jadi otw ancur kayak gini?!”
“Cuih, ganteng permanen pantat lo. Maksud lo apa nempel foto aib gue kemarin di mading? Lo bikin gue diketawain manusia seantero sekolah, tau ga?"
“Enggak usah lebay deh. Emang nyatanya elo bahan hinaan satu sekolah, bawa santuy.” Vicki tersenyum menghina, membuat Fairuz melototinya dengan murka. “Kalo udah jelek ya jelek aja, lo gak usah banyak gaya,"
“Dasar cowok gak tahu diri!” Fairuz menggeram.
Di sampingnya, Elza hanya bisa menghela napas pasrah. Tak mau ikut campur dengan pertengkaran Fairuz dan Vicki yang memang hanya bisa dipisahkan para guru. Jika sudah bertengkar, mereka tidak mengenal kata malu. Keduanya bahkan masih cuek menjadi pusat perhatian di kantin.