A-Teen

Zzardna
Chapter #3

ー||ー

***

“Pak, saya milih ngundurin diri aja. Udah enggak betah lagi sama dia,” Fairuz memilih undur diri dari percakapan berbelit-belit tadi.

“Hahー? L-lah, dari tadi kek!” Vicki sedikit terkejut dan kembali menjaga imagenya. Pak Heri yang sedari tadi menengahi perdebatan mereka juga bingung dengan para remaja yang ada di hadapannya ini.

“Kamu yakin Fairuz? Ini termasuk ajang penting sekolah, mewakili sekolah ke luar kota. Karantina juga akan dimulai pekan depan, bapak memang enggak memaksa. Tapi ini yang kalian nanti-nantikan, kan? Kalian rival yang mampu bawa nama baik sekolah ini.”

Hanya dijawab dengan anggukan menunduk dari Fairuz, masih ragu tapi juga udah terlanjur sakit hati.

Suasana berubah hening. Vicki menantikan jawaban lain dari Fairuz, sebenarnya ia hanya tidak tau cara mengekspresikan perasaannya di hadapan Fairuz. Fairuz sendiri tengah mati-matian mengalahkan perasaannya ini pada Vicki, yang sudah membuatnya jatuh cinta seperti sekarang. Kantor semakin sepi karna rapat guru akan dimulai di aula. Mungkin setelah ini banyak kelas yang jamkos.

“Permisi,”

Kalimat yang terucap dari sosok Arnanda itu tak ada nada sopannya sama sekali. Nyolot dan nyelonong masuk mendatangi meja pak Heri.

“Arnanda? Jaga sopan santunmu, tampang cakepmu tidak akan membuahkan pemandangan bagus untuk mengembalikan nama baikmu!” Tegur pak Island sekilas berpas-pasan dengan Arnanda. Ia hanya mengangguk tanpa wajah bersalah.

“Bapak beri waktu untuk mengambil keputusanmu dengan bijak, silahkan kembali latihan. Karantina luar kota dimulai pekan depan, dan sepertinya ini pertandingan terakhir kalian setelah selesai UPRAK kemarin,” jelas pak Heri memberi luang untuk berbicara dengan Arnanda, dan mempersilahkan Fairuz dan Vicki pergi.

Arnanda langsung mendekat tak perlu meminta izin, sudah biasa baginya. Tak ber-akhlak, itu ciri khasnya.

“Hahah, ubah sikapmu Nand. Pandangan para guru ke kamu sudah sangat buruk. Tapi bapak masih bersedia membantumu untuk bangkit lagi,” pak Heri berbasa-basi, meski juga terselip nasihat dan ajakan.

“Haa, udah basa-basinya? Sekarang apa?” Arnanda tak suka berbasa-basi seperti ini, ingin cepat selesai.

“Iya, iya. Bapak cuma ngetes telinga. Pergi ke gor Taekwondo, bapak mengharapkan skil-mu kali ini. Disana ada yang bisa kamu jadikan rival sejati, semoga.” Jelas pak Heri diakhiri gumaman. Kening Arnanda mengerutkan kening.

“Taekwondo lagi? Cih, bosen pak. Gak ada lawan setara, kalaupun ada juga udah gue kalahin.” Decak Arnanda.

Yah, Arnanda memang sudah melawan banyak orang di sekitarnya. Lebih lagi, dulu ia adalah juaranya taekwondo. Tapi semua itu runtuh seketika, ketika ia sadar kalau lawan dan rivalnya tak bisa lagi mengejar ke tertinggalannya dari Arnanda. Ia menjadi lebih ganas, dan bosan dengan perlawanan yang membiarkannya menang dengan mudah. Tak ada lagi yang berani dengan Arnanda setelah kemenangan mutlaknya saat itu.

“Kalian bisa berlatih, guru-guru akan rapat nanti pulang sekolah bapak akan mengunjungi kalian.” Senyum miring terukir di wajah gelap dan berkumis pak Heri. Arnanda sekedar mengangguk malas, berbalik tanpa kalimat pamit sedikit pun.

Gor latihan taekwondo terlihat sepi, tak banyak yang berminat untuk latihan setelah kejadian dua bulan yang lalu. Sebenarnya masih ada, hanya saja kali ini lebih sedikit. Elza sekedar berlarian kecil dan sesekali mengambil ancang-ancang untuk menendang. Tersisa para senior ber-status magang. Lila sudah kembali ke lapangan latihannya.

“Lah Za? Lo mau latihan? Gue ada rapat nih,” sen Alif dan sen Rizal baru saja beranjak setelah membereskan bodyprotector berniat untuk pergi.

Elza justru bersiap mengenakan sabuknya menatap lurus, mencari sumber suara. “Sen Dessy sama sen Oky? Gak papa sen, duluan aja.” Ujar Elza tanpa ada keraguan.

Lihat selengkapnya