***
Bel pulang sekolah sudah berdering sekitar lima belas menit yang lalu, pak Heri sudah menemui mereka, dan memberi pelajaran seutuhnya. Kalau masalah olahraga sih, pak Heri jagonya. Elza cukup menyimak dengan baik, Arnanda sekedar mendengarkan malas. Hanya mereka yang dilatih, tak heran. Benar yang diucapkan Aska tadi, karna yang ditakuti kembali jadi banyak yang mengundurkan diri dari ekskul taekwondo.
“Pelatihan kalian cukup memuaskan, bapak ingin melihat kalian bertanding– “
“E–enggak bisa pak! Jidatnya masih benjol pak,” Elza beralasan sekenanya, tak mau bertanding dengan Arnanda karna mentalnya belum siap menerima bayangan cerminan dari dirinya sendiri.
Raut Arananda berubah gelap dan murung, sebenarnya tidak masalah jika ia bertarung, lagipula jidat yang kena kalau segini doang gak ada apa-apanya bagi Arnanda.
“Hem…benjolnya besar juga. Kalau sampai kenapa-kenapa yang ada besok kalian gak bisa ikut. Yaudah, nunggu Arnanda sembuh. Hahaha, baru ini bapak ngelihat kamu punya luka konyol kayak gitu,” pak Heri menertawakan Arnanda, cowok yang dikenal kulit baja karna jarang melihat ia terluka.
“Kenapa? Lo nyerah? Mau ngundurin diri?” Tanya Arnanda dengan aura dingin sempat terlihat kecewa.
“Enggak, gue cuman belum siap. Besok gue bakal menangin pertandingannya,” sangkal Elza mencoba meyakinkan diri.
“Yah, baguslah. Jadi rival yang bapak banggain kedepannya,” ucap pak Heri bermaksut menyemangati sembari menepuk pelan ke kepala Arnanda dan Elza.
Arnanda dan Elza memang rada risih dengan yang seperti ini, “Gue bukan anak kecil, pak. Gue juga ogah punya rival pikun kek dia,” Arnanda mengenyahkan tangan pak Heri begitu saja.
“Pak, yakin boleh saya patahin?” Elza langsung mundur untuk menghentikan pergerakan pak Heri, tidak peduli apa yang Arnanda ucapkan. Ia tak suka kontak fisik, sebelum ia sendiri yang memulai. Itu sih, prinsipnya.
Pak Heri sekedar tersenyum sudah mengerti sikap para murid pilihannya. Ia seakan punya anak yang berkepribadian berbeda-beda pasti semua guru merasakan hal yang sama.
Pulang sekolah, kelas 12 mendapat kelas tambahan di setiap harinya. Sekiranya sampai jam 5 sore,
“Fisika nih? Ah, mager banget gue,”
“Bu Lusi dateng– “
Kerumunan kelas segera bubar tanpa disuruh lagi. Elza mencoba bertahan mendengarkan pelajaran yang membosankan baginya, sesekali menggambar acak sketsa wajah yang campur aduk karna ingatannya juga lemah.
“Za,”
Lila menyenggol bahu Elza, mengamit secarik kertas. Ia mengambil dan membacanya tanpa menunjukkan pergerakan yang mencurigakan.
“Za!! Sebel banget sama si Aska. Adu mulut mulu, kalo racun itu gak haram gue bakal kasih tuh Aska sianida! Huft…Za. Gue kangen Alano, ini kah yang dinamakan perjuangan cinta?~ Hadeh, sabar...besok malem gue mau jalan sama bebeb hehe.”Dengan emot ala buatan Lila.
Elza mendelik geli dengan setiap kalimat yang dituliskan Lila. Lila dan Alano memang ber-status pacaran, dan Lila juga berhasil ngerubah sikap Aska delapan puluh lima persen. Ntu sih sebelum Arnanda dateng. Tapi Aska enggak separah nakalnya Arnanda, lagi pula kejadian seperti itu sudah terlewat sekitar 2 bulan yang lalu. Dan nama mereka masih jadi isu hangat dikalangan murid-murid.
“Heh, kok elo gak ketahuan sih. Gue naruh kepala aja langsung di marahin!” Zahra menjitak kepala Hanif yang tengah terlelap dalam tidurnya.
“Ebuset, ya mana gue tau. Suka-suka gurunya lah.” Jawab Hanif semakin menenggelapkan kepalanya ke dalam tangan yang menutupi sebagian kepalanya.
Pantas saja Hanif tidak ketahuan karna di depannya ada punggung besar Fahreza yang duduk di bangku depannya.
Hawa ngantuk di kelas ini sangat terasa, tak jauh beda dengan suasana di kelas sebelah. Nampak seorang cewek yang benar-benar tengah berusaha keras menahan kantuknya, rambut lurus pendeknya cukup membuatnya terlihat lebih cantik, Aurora.
Kelas 12 kali ini di isi kurang lebih bekas bully secara tidak langsung dari para senior tahun kemarin. Hebatnya setengah angkatan ini juga berbuat onar dan bermasalah setelah menjadi senior, karna menjadi senior itu tidak mudah. Yang kata harus menjadi contoh untuk para juniornya, benar? Muak sih dengernya.
“Fir, catetin buat gue. Gue gak tahan,” Aurora beranjak dan meminta tolong pada Firdiv, teman sebangkunya. Dijawab anggukan singkat. Aurora berjalan keluar, bersamaan dengan Arnanda yang juga tengah meminta izin pada pak Lutfi.
“Kalian penakut atau gimana? Satu orang!” Tegas pak Lutfi,
“Etdah pak?! Beda kamar mandi juga, lagian gue mau ngapain sih? Gak minat,” Arnanda bertatapan dengan Aurora sesaat yang terlihat menahan kesal.