***
“Arnanda, sejujurnya bapak tidak punya ide sama sekali apa yang sebenarnya kamu lakukan setiap kali menghadapi kertas ulangan,” pak Yusuf menyerahkan kertas tersebut. Arnanda menerimanya tanpa komentar, kembali ke kursinya dengan langkah malas.
Setelah tadi malam hujan deras membungkus kota, pagi ini, hari yang cerah, pelajaran ketiga di kelas ini adalah biologi. Beda lagi dengan pelajaran matematika yang di hadapi kelas sebelah. Setelah meletakkan tas hitamnya, memeriksa daftar absen, dan menyapa mereka, Pak Yusuf membagi kertas ulangan yang mereka kerjakan kemarin.
Arnanda yang terakhir menerima kertas– terlihat sudah seperti kebiasaan.
“Tahun lalu Bapak sudah khawatir kamu tidak naik kelas, Arnanda. Nilai–nilai ujian akhir semestermu persis di batas paling rendah. Guru-guru harus berdebat panjang tentang itu–terutama Pak Heri yang berusaha meyakinkan guru lain bahwa kamu punya bakat di bidang lain. Tidakkah kamu mau belajar lebih baik? Atau minimal menulis jawaban serius di kertas ulangan?” Pak Yusuf yang usiannya sudah lebih dari empat puluh tahun itu menatap Arnanda.
Arnanda hanya menunduk bersungut-sungut. Teman-temannya yang sudah kenal dekat dengannya itu tahu maksut dari sungutan Arnanda. Dia merasa sudah menjawab dengan “Benar” dan “Serius”.
Teman-teman sekelas yang lain mulai tertawa sesaat melihat ekspresi kusut Arnanda. Hanya sesaat sebelum Arnanda berbalik, melirik tajam setiap mata yang menatapnya.
“Lihat wajah Arnanda, Ney. Lucu banget,” Ghaida berbisik menahan tawa pada Neysa yang duduk di sampingnya.
“Ssstt–gue masih merinding kalo lihat wajahnya, diem aja lo, Ghe.” Neysa sengaja menyikut Ghaida menghindari tatapan sinis dari Arnanda.
“Hasil ulangan kali ini mengecewakan. Nilai rata-rata kelas turun signifikan. Minggu depan kita ulangan lagi,”
Tawa yang sempat terbungkam ini langsung diganti seruan tertahan, keberatan.
“Itu untuk kebaikan kalian,” Pak Yusuf melambaikan tangan. Melanjutkan pelajarannya.
Seruan protes teman-teman sekelas sia-sia. Pak Yusuf tidak pernah bernegosasi dengan keluhan murid. Tidak ada pilihan, mereka segera mengeluarkan buku catatan menyimak pelajaran.
Hanya Arnanda yang tidak berubah ekspresinya. Dia mengacak-acak rambutnya yang berantakan, malas-malasan mengambil bolpoin dari tas, tak peduli harus ditegur berapa kalipun karna ia tidak memakai rompi saat pelajaran juga. Rambut yang berantakan itu justru membuatnya semakin terlihat keren.
Pak Yusuf di depan sudah memulai pelajaran, memutar video. Pembahasan kali ini masuk ke bagian Teori Evolusi Biologi. Video mulai menunjukkan gambarnya dan penjelasan pak Yusuf terbilang sangat tertata rapih. Sekitar lima belas menit, pak Yusuf memberi jeda untuk mereka menonton Video hingga habis.
“Iya, ada pertanyaan?” Pak Yusuf menatap baris depan meja.
Salah satu murid mengacungkan tangan.
“Berarti yang ber-mutasi selalu bersifat merugikan, pak?” Fatur, yang selalu semangat belajar biologi, bertanya.
“Enggak lah…”
Seisi kelas menoleh–juga pak Yusuf. Itu bukan pak Yusuf yang menjawab. Itu suara celetukkan dengan intonasi menyebalkan milik Arnanda.
“Ya, sepertinya kamu bisa menjelaskan lebih baik, Arnanda? Agar teman-teman yang lain mengerti,” Pak Yusuf tersenyum, menatap wajah kusam-tampan Arnanda penuh penghargaan. Berharap mungkin kali ini Arnanda akan menunjukkan bakat terpendamnya.
“Jelas enggak, kan?” Arnanda mengangkat bahu, malas menjawab. “Pernah lihat Peter Parker? Atau X-Man? Itu sih, mutasi artifisial yang punya tujuan buat jadi superhero. Kalo lo kelebihan jari sampe 12 jari, misal. Lo bisa makan lebih banyak, dan enggak bikin rugi, kan? Bisa dibilang cacat dan gak punya tujuan, tergantungan lingkungan juga, sih.”
Nadhif, Akbar, Firdiv sontak menepuk dahi, juga teman-teman yang lain menahan gelak tawa.
Aska dan Vicki mengawasi pergerakan pak Yusuf, cemas kalau pak Yusuf akan semakin marah mendengar kalimat asal dari Arnanda dan malah membuat tugas lebih banyak.
“Bapak sepertinya berharap berlebihan. Tapi, terimakasih Arnanda. Itu juga bisa menjadi contoh mutasi yang akan bapak bahas,” Pak Yusuf tersenyum kecut pada diri sendiri.