***
“Za, bareng gak?” Tawar Lila setelah melihat mobil bang Farrel berhenti di depan gerbang. Dijawab anggukan datar oleh Elza.
“Lah, kalian main gak ngajak-ngajak nih?” Rengek Fairuz yang sudah memesan ojek online.
“Enak aja lo ngomong. TY gue rusak, sekalian dapet rejeki, kan gak boleh ditolak.” Elza mengangkat skeatboard-nya yang ia beri nama TY,
“Hahaha, abang gue dah nunggu tuh, Za. Duluan, Fai.” Lila menarik tangan Elza semangat. Yang ditarik hanya mengikuti, pasrah.
Hal seperti ini sudah biasa bagi mereka, Elza dan Lila sudah seperti keluarga. Dan juga orangtua mereka setidaknya setiap tahun sekali ada pertemuan. Yah, urusan orang tua pasti ada aja.
“Tumben lo mau nebeng bareng gue?” Bang Farrel menengok kebelakang, “Lila gak bilang kalo ada elo, bang.” Elak Elza sudah duduk rapi.
“Aelah, bang. Adek sendiri punya temen aja lo sewotin, giliran lo punya pacar aja gue di seleding.” Lila menggerutu kesal, sudah duduk disamping Elza.
“Elo, kan gak penting.” Bang Farrel menancap gas dengan mulus.
“Bang, bengkel dulu.” Ucap Elza santai. “Dasar, adek laknat kalian!” Bang Farrel sekedar bergumam tak jelas, tapi tetap berbelok ke bengkel terdekat.
“Lah, Za. Gue lihat ada besi gitu di tas lo. Apaan tuh?” Lila mengalihkan topik sekenanya.
“Oh.., gak tau. Ini tas juga gue nemu aja di almari.” Jawab Elza tak mau peduli. Bang Farrel yang menyimak itu menatap Elza dan Lila bergantian lewat pantulan cermin depan. “Tasnya orang lain.” Celetuk bang Farrel.
“Punya siapa?” Elza dan Lila sontak bertanya, heran dengan abang ini yang tahu sesuatu.
Tapi ia terdiam, enggan meneruskan kalimatnya atupun menjelaskan lagi. Lila menyenggol lengan Elza, ketika tiba di tempat bengkel. Untuk memperbaiki TY.
“Hm?”
“Kemarin, gue konsul. Dan gue masih ragu sama ini. Tapi gue juga lagi nyari tahu, apa lagi abang gue juga kayaknya tau sesuatu.” Lila mulai berbisik di telinga Elza.
“Otak lo gak sakit lagi? Kemarin aja setiap lo maksa nginget, lo jerit-jerit kayak kerasukan setan gitu.” Elza menjawab sambil tersenyum kecil, antara senang dan juga mengejek.
“Yah, itu mah dulu. Muak gue lama-lama, kepikiran terus sama rompi yang lo gambar. Ngerasa ada yang aneh juga.” Lila tersenyum seadanya.
“Apa yang lo raguin?” Elza menoleh, bertatapan serius dengan Lila. Ia justru menggeleng tak mau menjawab.
“Besok aja, kalo gue udah punya kepastian.”
“Dasar, kata mau mecahin bareng-bareng?” Kesimpulannya, Elza merengek minta untuk dijelaskan apa yang Lila ketahui. Tapi dengan alasan dan juga basa-basi yang kaku itu.
“Tenang aja, gue gak maksain diri kok.”
Elza sekedar mendengus melihat Lila yang bersikeras untuk tidak memberi tahu, Elza sudah lelah dengan sesuatu yang harus membuatnya menerka-nerka tanpa dasar.
Yang sedang mereka bicarakan adalah tentang sebuah ingatan yang hilang, hilang bukan berarti musnah hanya saja tidak berada di tempatnya. Dan trauma yang dialami Lila tidak separah Elza, sampai saat ini yang mengalami progress besar pun hanya Lila.
Ingatan yang pernah hilang perlahan muncul bersamaan dengan rasa sakit yang Lila sembunyikan selama ini. Sebagai manusia biasa pun, mereka berhak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri di masa lalu.
“Lama bener,” omel bang Farrel sudah menunggu dari tadi.
“Tinggal aja lah Si TY lagi ngambek,” Elza mendesah kesal. “Besok berangkat bareng gak?” Tawar Lila kesekian kalinya. Dijawab gelengan cepat oleh Azza.
“Gengsi, kan lo.” Tunjuk bang Farrel kepedean.
“Ngapain? Gue cuman mau nikmatin jalan hidup gue.” Jawab Elza mulai ketus.
“Aelah, mikirin rival baru, nih?” Goda Lila mencowel pipi Elza.
“Gila, ada yang baru punya rival besok bakal jadi calon gebetan, nih. Tapi mau dilihat dari mana pun, kayaknya gak ada yang mau sama elo deh, Za. Udah barbar, laknat, enggak ada akhlak begitu.” Oceh bang Farrel terus menilai dan merendahkan Elza yang sudah bersungut menulikan pendengaran.
“Najis, ngapain mikirin Bambang muka serem begitu. Rival dari mana? Dibabu sih, iya.” Elza mendengus mengalihkan pandangan ke jendela.
“Siapa Bambang muka serem? Perasaan wajah lo yang paling horror deh, Za.” Bang Farrel terkekeh pelan.
“Namanya Arnanda, Za.” Lila ikut terkekeh sambil meralat nama Bambang yang ia sebut.
Bang Farrel seketika tersenyum kecut, tiba-tiba menjadi canggung dan tidak sericuh tadi.
“Idih, siapa coba nih orang?” Lila berdecak memegang ponselnya.
Elza mendekat ingin tahu. “Ar-di?” Elza mengeja tulisan itu pelan. “Ya, gue tau kalo ini dari Si Ardi, tapi gak lucu bangetlah. Udah gue tinggal di Jepang masih aja minta pacaran! Gak guna banget sih,” omel Lila merutuki nasibnya.
“Ardi? Oh! Bastian, yang nyamperin elo terus tiba-tiba nembak akhirnya ke Jakarta tuh?” Elza menebak orang yang benar, tapi dengan pengucapan yang salah. Kebiasaan.
“Ardi, Za. Iye, nempelin gue mulu tuh bocah. Sinting sih, udah lewat 7 tahun masih ngejar gue. Gue kan ada Alano,” gerutu Lila semakin menjadi, menekan kesal teleponnya dan mem-block nomor Ardi.
Elza sekedar mengangguk-angguk, ia sudah sering melihat Lila di tembak banyak orang termasuknya Si Ardi. Mau ditolak berapa kalipun dia juga bakal tetep balik kalau hatinya masih buat Lila.
“Ardi? Idih, hapus aja nomornya, cowok kayak gitu kok di pertahanin.” Bang Farrel ikut kesal mendengar omelan adeknya.
“Ngapain gue pertahanin, bang?! Gue aja najis sama dia, mending gue betah-betahin nunggu ketemu Alano kayak gini dari pada sama cowok banci, modal perasaan sebelah tangan.” Lila kesal menendang kursi kemudi, membuat bang Farrel meringis.
“Hah…Elo sih, tebar cantik.” Ucap Elza.
“Gue emang udah cantik dari lahir!” Lila berujar percaya diri, yang malah membuat Elza dan bang Farrel tertawa mengejek.
***