***
Jam istirahat kedua sudah berjalan lima belas menit berlalu. Firdiv, dan Tisia sengaja berjalan ke tempat Lila dan Fairuz yang tengah mengerjakan sesuatu di dalam hp mereka.
“Hadeeh, gue kasian sama Elza. Tugas kelas sebelah numpuk, Arnanda doang sih. Tapi gegara itu Elza jadi dekem disana.” Firdiv mencomot topik sekenanya dan duduk asal di depan mereka.
“Tadi lo bilang tugas Arnanda numpuk? Kenapa lo gak bantu?” Fairuz mengalihkan pembicaraan.
“Hm…Gue gak senekat elo Fai. Panas-dingin yang ada kalo gue di plototin sama Arnanda.” Ungkap Tisia.
“Yodahlah, gue ke kantin. Kalian mesti bolos makan lagi, kan? Diet mulu perasaan.” Oceh Firdiv berdiri diikuti Tisia dan meninggalkan kelas.
“Lila, sama…Fairuz, kan?” Saga yang tak pernah disangka akan datang. Kini berdiri di hadapan mereka. “Elza, sekenal gue dia deket sama kalian.” Saga berniat mencari siapa murid yang tadi tidak memperhatikan waktu perkenala dirinya, dan malah berteriak sendiri dari belakang.
“He`eh, eh. Ga`, mending lo temuin tuh Singa. Bawa kesini sekalian.” Fairuz asal menyuruh Saga seenaknya, padahal baru sekitar satu jam Saga masuk ke kelas ini.
“Di kelas sebelah. Saran aja sih, jangan kenal dari apa yang lo denger, tanya langsung aja sama orangnya.” Ucap Lila membenarkan arah Saga. Ia mengangguk santai sempat tersenyum kecil menyetujui.
“Thanks.”
Saga melangkah sendiri, meski banyak sorot mata yang memperhatikannya. Ia sekedar tersenyum bersikap sewajarnya, dan lagi karna ini masih hari pertama dia menginjakkan kaki di sekolah. Seragam rompi dari sekolah lamanya menjadi sorotan paling mencolok pasalnya angkatan rompi kelas 12 kali ini menjadi yang terakhir dan kebetulan begitu juga dengan sekolah Saga. Saga melangkah yakin memasuki kelas 12 MIPA 3. Orang-orang di dalam tidak ambil peduli pada kehadiran Saga, ia menelan ludah berat.
Di ujung kelas, Arnanda tertidur memakai sebelah earphone dan sebelanya lagi terpasang di telinga Elza yang sibuk mengerjakan tugas-tugas Arnanda.
“Ekhem,” Saga berdeham meyakinkan diri bahwa ia ingin dekat dengan yang namanya Elza dengan julukan Singa yang ia dengar tadi, Saga menarik kursi bangku depan Elza. Ia mendongak merasakan kehadiran angin baru.
“HAH?!” Pekik Elza kaget, membuat Arnanda melonjak sama kagetnya.
“Lo bikin gue jantungan aja. Untung jantung gue gak copot.” Decak Arnanda terfokus pada Elza yang membuatnya terperanjat.
“Matilah.” Jawab Elza matanya tak bisa lepas dari wajah Saga, yang balik menatapnya dengan ekspresi bingung.
“Nyumpahin gue mati nih?” Jawab Arnanda dan Saga bersamaan. Arnanda mendelik kaget keberadaan Saga yang tak ia ketahui.
Yah, gimana gak bingung. Elza bilang ‘mati’ di depan Saga jawab ke Arnanda. Dasar.
“Eaak, bareng.”
“Widih Elza, jadi pelakornya.”
“Yakin tuh, jodohnya Arnanda Si Anak Baru itu?”
Desas-desus dari junior dan juga temannya yang lain, sengaja mengamati apa yang di lakukan Si Anak Baru, tambah lagi Arnanda bekas isu homo.
“Lo ngapain teriak?” Tanya Saga tak peduli, sedang mengenali gaya percakapan Elza. “Kaget, bego.” Elza tidak mengenali siapa dia, tapi asal menjawab seakan sudah akrab. Arnanda melanjutkan menaruh kepalanya, lebih ingin mendengar suara lagu dari pada isu tak masuk akal.
“Terus, lo ngapain disini?” Lanjut Saga tersenyum kecil seakan mendapat celah, ia melihat-lihat buku catatan Arnanda yang sudah lengkap dengan tulisan Elza. “Berak. Udah tau nulis pake nanya.” Elza melanjutkan menulis tugas Arnanda.
“Hahah, lucu juga lo.” Saga mencoba bericara sesantai mungkin
“Mananya yang lucu?”
“Itu.” Saga menunjuk. Elza mendongak, mendapati telunjuk yang mengambang di depannya persis.
“Buset, lo mau nyolok mata gue?” Elza melotot geram. “Hahaha, bego juga lo ternyata.” Saga semakin terkekeh sendiri.
“Kalo gue bego, lo apa?”
“Pinterlah,” ucapnya sudah terbiasa, kini ia tak lagi caggung ataupun ragu-ragu untuk ambil cakap.
“Pede banget lo.”
“Berisik.” Arnanda berdecak kesal.
Elza dan Saga sekilas tertawa bersama mendengar rintihan orang yang terganggu ini.
“Za, lo tau siapa orang yang lo ajak ngomong?” Saga bertanya, mengingat kalau Elza sering dibicarakan dengan kebiasaan buruknya yang lupa wajah orang.
“Sama anak kambing! Ya, elo lah, pinter!” Geram Elza.