A-Teen

Zzardna
Chapter #14

7. Pernyataan?

***

Elza keluar dari kamarnya dengan memakai kaus lengan panjang dan celana hitam, dia hendak ke ruang makan. “Papa, Mama habis dari mana?” Elza menarik kursi dan duduk, mereka baru memulai makan malam.

“Kami mencarimu…,” segurat air kesedihan jelas diraut Mama. “Siapa, yang…meninggal?” Elza ragu untuk menanyakannya, karna melihat kedua orang tuanya sangat sedih di hadapannya.

“Bukan apa-apa. Lalu bagaimana dengan sekolahmu? Papa mendapat pesan kalau kamu mengikuti karantina di Jogjakarta, setelah ini kamu harus istirahat.” Papa mencomot topik sekenanya, mengalihkan perhatian.

“Ya, Jogja CUP. Setengah bulan, mungkin.” Ucap Elza mengikuti alur percakapan, meski dalam hati ia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

“Seru dong berarti, ini juga masa terakhirmu di SMA kan? Setengah bulan itu waktu yang cukup lama, kenapa kamu enggak bilang ke Mama dulu? Jaga kesehatanmu selama di sana, Mama akan menyiapkan bawaanmu untuk besok.” Mama berujar dengan semangat, kembali beranjak tak melanjutkan makan malah disibukkan menyiapkan bekal.

“Maaf, Pa, Ma.” Elza baru ingat kalau ia belum sempat meminta izin pada mereka berdua.

“Tidak apa-apa, Papa tahu kalau kamu terlalu bersemangat sampai lupa izin. Lagipula Papa juga sudah mendapat kabar dari wali kelasmu.” Senyum Papa merekah begitu saja.

“Pa, Ma…,” panggil Elza tertahan, ia menunduk. Entah apa yang ia pikirkan, dalam hati ia sangat ingin bertanya siapa dua orang yang akhir-akhir ini muncul diingatannya setelah kejadian ia membentak Arnanda saat merokok itu.

“Kenapa, sayang?” Mama dan Papa melihat Elza penuh penantian yang sabar.

“E-Enggak jadi, aku mau masuk.” Elza buru-buru kembali ke kamar, merasa tidak sopan. Tapi Elza tak kuasa menahan perasaan anehnya ini, rasa…Rindu?

Elza tidak menyelesaikan makan malamnya. Merbahkan diri dengan asal, dan menutupi kepalanya dengan bantal. Aneh, sungguh aneh.

“Elza?” Suara Mama terdengar disusul ketukan pintu,

“Ya?”

“Boleh Mama masuk?” Elza diam, dan membenarkan posisinya untuk duduk. Tak lama itu Mama masuk, dan duduk di pinggir single bad.

“Sketchbookmu habis? Atau ada yang mengganggumu?” Mama mengedarkan tangannya mengelus halus ke pucuk rambut Elza. Ia masih belum menjawab, berpikir apakah ini pantas untuk ditanyakan.

“Ma, ada kemungkinan aku bisa ingat masalalu gak?” Elza tak pandai berbasa-basi dan menengadahkan pertanyaan Mama yang hanya mampu mengangguk memasang wajah menyimak. “Pasti kamu bakal inget. Jangan dipaksakan,” semburat wajah khawatir tergambar jelas.

“Mama, punya berapa anak?” Pertanyaan dari Elza kali ini tak bisa dijawab dengan mudah dari mulut Mama.

Mama terdiam, menatap Elza tak bisa diartikan. Kesedihan terlihat jelas, ia tersenyum getir. “Mama keluar dulu.”

Elza tak mencegah, mungkin karna pertanyaannya sangat frontal untuk didengar seorang ibu yang nyatanya harus menjadi sosok yang tahan banting atas segala apapun yang terjadi. Mama menangis sejadinya diluar kamar berada dalam dekapan Papa. Terdengar samar, hanya isak kecil yang tertahan. Elza menahan napas, ikut sesak mendengar suara isak dari sang Mama

“Za, Papa masuk.” kini giliran Papa yang mengantikan posisi semula Mama, menatap Elza dengan tatapan muram.“Kamu mengingat hal lain? Apa saja, ceritakan ke Papa.” senyum Papa perlahan merekah, meyakinkan Elza untuk bercerita.

“Tak banyak, aku tak sepandai Lila.” Elza menunduk, merasa tertinggal dengan ingatan Lila yang kian ada kemajuan.

“Itu tidak penting. Sekarang adalah apa yang kamu ingat.” Papa mencoba menghibur. Elza mengangguk ragu.

“Aku, anak keberapa, Pa?” Pertanyaan yang sangat dihindari Papa, semenjak Elza beranjak dewasa. Dan hebatnya pertanyaan ini baru keluar untuk pertama kalinya saat ini.

“Hah…Baiklah, mungkin benar. Ini saatnya kamu tau. Kamu…anak ketiga.” Papa menjawab yakin.

“Ha?”

“Ya, kamu putri ketiga kita.”

“Dimana kedua kakakku?” Tanpa pikir panjang Elza langsung melontarkan pertanyaan lagi. Papa menggeleng, dan menepuk kepala Elza pelan.

“Tidak ada, bersamaan ketika ingatanmu juga hilang.”

“Apakah ini karna aku?” Raut wajah Elza ketakutan bukan main, merasa bersalah tanpa ada dasar.

“Bukan, ini salah kami.”

“Tapi, kenapa Papa baru bilang sekarang? Bukankah kedua kakakku juga seharusnya kuingat dari lama? Buktinya, aku masih bisa mengingat kalian.” Pikirannya memanas percaya tidak percaya, berganti menyalahkan keadaan.

Papa justru tersenyum.

“Sebelumnya, Papa kira juga akan seperti itu. Tapi ingatanmu menolak, dan kami butuh sekitar tiga tahun untuk menjadi sosok orangtua lagi di ingatanmu.” Papa tersenyum kecut.

Kening Elza mengernyit tak percaya, separah itukah dirinya?

“Sayang, Mama bawakan sesuatu. Benar, seharusnya kita memberitahumu lebih awal.” Mama datang dengan mata merah habis menangis, di tangannya ia membawa sebuah album foto.

Mama memberikannya pada Elza. “Foto kita, sebelum semuanya berubah.” Jelas Papa bertukar pandangan dengan Mama.

“Jangan terlalu dipaksakan, kalau sakit atau pusing istirahat dulu.” Mama mengingatkan, ia mengangguk. “Aku boleh melihatnya?” Elza menatap Mama ragu-ragu, dibalas anggukan hangat dari keduanya.

Lembar pertama diisi sebuah foto keluarga harmonis, kedua orangtua dan ketiga anaknya yang masih kecil. “Siapa?” Bibir Elza kelu untuk sekedar menanyakan ini mencoba mempercayai apa yang ia lihat.

“Kamu, kakak kedua, dan kakak pertamamu. Arief, Vivi, Elza.” Jelas Mama perlahan sambil menunjukkan yang mana orangnya. “Kakakku?” Gumam Elza tak sanggup mengeluarkan suara. Malam semakin larut, dan pikirannya kalap.

“Malam ini kamu istirahat dulu, besok Papa akan mengantarmu.” Papa mengecup kening Elza, sekilas mengelus kepalanya dan keluar kamar. Mama tersenyum membelai rambut coklat Elza. Ia terlalu fokus pada album yang ia pegang.

“Jangan lupa istirahat, maafin Mama. Mama akan menyiapkan kebutuhanmu untuk besok.” Kecupan Mama tepat di kening, lantas mengikuti langkah Papa keluar kamar.

Tubuhnya pegal dan juga ingatan yang baru saja dilanda tornado, Elza tak pernah mengira kalau ia punya kakak. Elza juga baru tahu kalau dirinya sempat melupakan kedua orang tuanya, ini seperti sudah mutlak karena kesalahannya. Tangan Elza melepas foto tadi dari album, menyelipkannya ke sketchbook A7.

Malam itu Arnanda mengayuh sepedanya brutal, melesat secepat mungkin untuk tiba di pemakaman. Siapa sangka kalau didepan sana sudah ada Aska dan Vicki yang menantinya.

“Lo tetep dateng?” Aska berujar singkat, menatap nisan milik Ayahnya.

Vicki tetap diam, tak menyahut dan kalut dalam penyesalannya menatap kedua nisan dihadapannya. “Maaf,” Hanya kata itu yang bisa diucap Vicki. Ketiga remaja tunduk dalam gelapnya malam, tak ada lagi topik yang perlu mereka bahas.

“Namanya… sama,” gumam Arnanda terdengar oleh kedua temannya. Aska melirik begitu juga dengan Vicki.

“Mereka orangnya, Nand.” Aska meyakinkan.

“Enggak–dia gak selamat, gegara gue.” Dada Arnanda nyeri mengingat kejadian hari itu.

“Lo gak salah,” Vicki ikut berujar yang sebenarnya mereka tau kalau kejadian dan ketidaksengajaan itu semua adalah takdir dari-Nya.

Arnanda menunduk baru kali ini ia memperlihatkan sisi lemahnya. Di depannya sudah ada tiga nisan bertengger lembab membuat hidupnya terasa lebih sepi dan tak terarah.

Sori,” lagi-lagi Vicki meminta maaf. Tak mendapat jawaban sama sekali.

“Ah, bukan salah elo. Balik gih, besok pertandingan kan.” Aska mencoba mencairkan suasana. Biasanya yang mencairkan suasana disini adalah Arnanda tapi kali ini tidak.

“Shaf, gue kira lo selamat bareng dia.” Gumamnya teruntuk adiknya yang sudah tenang di sana. Jujur, Arnanda baru benar-benar terpuruk ketika pertemuannya dengan Elza. “Namanya sama,”

Aska dan Vicki terdiam membiarkan sahabatnya itu berkeluh kesah pada yang tiada. Nama, hanya sebuah nama yang bisa menjadi petunjuk mereka–kenangan? Sunggu, itu terlalu menyakitkan jika mengingatnya.

“Lo bakal ke Belanda lagi?” Tanya Aska sesaat teringat kalau Arnanda sangat dikekang oleh keluarga barunya, berniat mengalihkan perhatian Arnanda, tapi malah membuatnya semakin enggan untuk beranjak dari sana. Ia tidak menjawab.

Ma, Pa harusnya mereka hidup. Dan kalian gak ninggalin Vicki gini aja, kalian pikir Vicki betah dipanggil anak pembunuh? Haruskah kalian menyalakan api malam itu? Haruskah Vicki yang merasakan dosa kalian?

Vicki menelan salivanya susah payah, benar-benar terasa berat kalau harus menerima semua kenyataan pahit dalam hidupnya. Melihat kedua sahabatnya kehilangan sosok yang mereka sayang karna kedua orang tuanya.

Padahal perawakan dan jiwa mereka menginjak umur remaja yang beranjak dewasa, tapi apa itu semua akan mengubah semua luka yang pernah mereka alami? Luka yang tak pernah mau hilang meski dipaksa, kenyataan yang bertopang tindih saling menyatukan.

Semua itu terasa berat bagi siapapun sebelum kata lepas dan berpasrah tulus dari dalam hati. 

Lihat selengkapnya