***
Sekitar tiga sampai empat jam perjalanan untuk menuju ke kota Jogja. Macet melanda jalan raya maupun tol. Di dalam bus sudah berkali-kali ganti suasana, dari rame perlahan sepi, sampai menuju ke suasana tidur semua. Kelelahan, itu yang tergambar di raut wajah mereka. Perjalanan yang dihabiskan dengan duduk-duduk saja itu lebih melelahkan dan juga membosankan. Kini mereka tiba di pemberhentian rest area terakhir.
“Heh, Za. Temenin gue beli buku,” tarik Aurora tak perlu menunggu jawaban dari Elza, melihat hanya tinggal mereka yang tersisa di pemberhentian itu. “Yang lain udah pada masuk, woi.” Aurora tak mengindahkan ujaran Elza. Akhirnya mereka berlari menuju toko buku terdekat.
Suasana mendung dingin terasa sejuk, jalanan pun tak bisa dibilang sepi. Genggaman tangan mereka semakin kuat, faktor terdekat karna tangan Aurora terasa dingin jadi Elza tidak terlalu keberatan untuk menggandengnya.
“Jauh gak?” Tanya Elza masih sambil berlari, “ Seinget gue sih deket, tapi kok masih lama.” Rora terlihat terengah-engah.
“Gila, baru juga sampe udah lari-larian kayak maling gini.”
“Gak papa, saru juga. Jarang lho bisa kayak gini,” kekeh mereka melewati beberapa orang yang tak peduli dengan sekitar.
“Disana.” Aurora berbelok lebih dulu. Dan langsung memilih buku yang ia incar. “Buset, duit gue kurang. Lo bawa duit gak?” Elza langsung menyodorkan uangnya tak ingin berlama-lama.
“Muth`, buruan. Ketinggalan ntar,” Elza semakin resah kalau bus yang mereka naiki sudah berangkat lebih dulu.
“Udah. Ayo buruan,” tak butuh waktu lama mereka kembali berlari menuju rest area dimana bus mereka berada.
“Anjir, mau gue susulin udah balik duluan kalian.”
Mereka masuk ke bus disambut dengan omelan panjang lebar dari kekesalan teman yang lain karna sudah menungu terlalu lama.
“Ngapain lo mau nyusul gue?” Rora sudah duduk di tempatnya, bersebelahan dengan Rehan.
“Disuruh sama pak Heri,” balas Rehan tak ingin terlihat kalau dirinya tengah mengkhawatirkan Rora.
“Bangke, superman gak pernah pake sempak di dalem! Za, salah ambil buku, gila.” Umpat Rora langsung mencari batang hidung Elza yang sudah duduk di bagian belakang bersama Arnanda.
“Apa urusam gue sama sempaknya?”
Timpal Elza polos berhasil membuat seiisi bus tertawa mendengar celetukan latah dari Rora dan balasan Elza yang tak kalah menggelikan.
“Humorku, sekedar sempak. Wkwkwk.” Ghaida terbahak-bahak.
“Bukunya salah, anjrit.” Rora semakin kesal dengan pertanyaan Elza yang sama sekali tidak membantu.
“Yang lo beli apaan?” Rehan mencoba menahan tawanya dan membantu. “Detik-detiknya SMP,” mood Rora sudah hancur lebih dulu.
“Kasih ke adek gue aja. Tuh Si Akbar kan juga punya adek,” buku di tangannya langsung direbut Zahra dan memberikan satu lagi pada Akbar yang langsung menerima tanpa perlu bertanya.
“Nyesel gue, udah gitu pake utang ke Singa lagi.” Rora pasrah menyerahkan bukunya. “Sans,” jawab Elza dari belakang, Aurora langsung kembali sumringah.
“Kalo gratis thanks yo.” Akbar menunjuk buku yang barusan ia ambil.
“Kalo enggak gratis?” Zahra memancing. “Ya, gue bayarlah. Emang elo yang utangan gitu,” Zahra melengos mendengar jawaban dari Akbar.
Sebagian formasi duduk pun sudah berubah-ubah, kecuali Elza dan Arnanda. Mereka masih bisa bertahan dengan satu headset yang bertengger di telinga kedua orang ini, sebenarnya tidak untuk Elza. Ia sudah muak, disuruh-suruh. Entah mengambil botol minum, charger di tas, buang sampah dan lain sebagainya.
Arnanda merasa gerah, lelah dengan pikirannya yang tak bisa diajak kerjasama dari semalam. Ia hendak membenarkan duduknya tapi tubuh Elza sudah miring ke bagian Arnanda, dengan posisi aneh yang berhasil membuat Arnanda cukup kesusahan untuk bangkit.
“Buset, dugong jenis apa sih lo?” Arnanda mendorong tubuh Elza perlahan, kakinya keram.
“Za, minggir. Kaki berharga gue keram, nih.” Arnanda berhasil memindahkan tubuh Elza kembali di tempat duduknya. “Dasar,” Arnanda sempat melirik skeatchbook yang terselip di saku jaketnya.
“Keren juga gambarnya…maksut gue wajah gue, gak usah geer lo.” Arnanda bermonolog. Menyematkan senyum setiap lembar yang ia buka.
Selembar foto jatuh dari halaman sketchbook, tepat di lembar sketsa rompi terbuka.
Arnanda meraih lembar foto yang sempat Elza selipkan tadi malam. Arnanda mengatupkan bibirnya, aura dingin dan gelapnya kembali menyeruak dari ekspresinya.
Semalam Arnanda tidak kembali kerumah dengan pikiran dan bayang-bayangannya yang tak pernah mau lepas dari masalalu yang mengerikan. Pagi harinya, Vicki dan Aska bertemu sopir Arnanda untuk menanyai keberadaan Arnanda yang alhasil mereka berangkat bersama setelah menemukan Arnanda di pemakaman sendirian. Dan selembar foto itu berhasil membuat pikirannya nyalang lagi, Arnanda menggeleng cepat tak ingin berpikir yang tidak-tidak.
Pemberhentian terakhir sudah lewat. Perlahan, mata kecil Elza terbuka. Seketika tatapan aneh dan juga penuh selidik menohoknya tanpa sebab. Ia segera menoleh.
“Hah?! Faisal, sori banget.Gue gak tau.” Elza sontak membenarkan posisinya yang sudah tidak wajar, siapa sangka kaki yang seharusnya di bawah itu kini sudah bertengger hampir menyambar wajah Arnanda yang tengah menikmati pemandangan luar jendela.
“Sori, banget…,” tatapan Arnanda tak luput darinya berhasil membuat Elza bergidik.
“Lo tidur apa tanding, sih? Main tendang aja.” Arnanda mengusap wajahnya kebas.
“Gue tidur kok, tapi mimpi tanding gitu…” Elza nyengir, mencoba mencairkan suasana.
“Cuih– Gak bisa menang lo dari gue.” Arnanda bersikap datar seperti biasa.
“Ntar gue yang bakal menang! Lihat aja besok.” Ujar Elza geram.
Disisi lain. Bagian bangku depan tengah diributkan dengan beberapa masalah yang sepertinya cukup serius.
“Fir?! Jangan muntah disini!”
“Tahan, tahan bentar lagi.”
“Pak? Bisa ke rest area, sebentar, kan?”
“Tahan Fir,”
“Lo juga tahan elah, bau kentut lo badek.”
Keributan dan teriakan khawatir terus berseru. Aurora, Neysa, Izzul, Zahra, Nabila disibukkan dengan Firdiv yang hendak muntah. Beberapa anak cowok juga ikut ribut, entah dari Nadhif, Akbar, Aji, Fahreza, dan juga Rehan. Ditambah lagi Rafa yang sedang mati-matian perang menahan poopnya, mau ditahan bagaimana pun kalau kentut gak pernah bisa ngalah. Beberapa kali ia sudah kentut sampai berhasil membuat seisi bus berujar kualahan.
“Buka, buka aja jendelanya. Bau banget, sumpah!” Perintah sen Caraka sudah tidak tahan.
“Kalian tahan sebentar.” Kak Hendri dan juga Sen Oky yang khawatir atau bisa dibilang rada susah melihat yang menjijikkan seperti ini, tetap berusaha menenangkan mereka.
“Hm? Rame banget,” Arnanda hendak berdiri melihat keadaan depan.
“Gak! Lo gak boleh lihat!” Tegas Elza menarik lengan Arnanda kembali duduk. Raut Arnanda menggambarkan pertanyaan.
“Ntar lo ikutan muntah, gue yang susah.” Elza menjelaskan sekenanya, dijawab anggukan santai dari Arnanda.
“Berguna juga, gue udah ngelatih lo jadi budak gue.” Arnanda menepuk puncuk rambut Elza sekilas. Belum sempat Elza mengancam, tangan itu sudah ditarik kembali.
“Rafa! Bau banget!”
“Sumpah! Jorok!”
“Lo ngobrok, ya?”
“Gila!! Ini entut atau berak?”
Teriakan demi teriakan bersahutan, yang paling histeris kini Fairuz, Izzul, Aurora dan beberapa anak cewek. Setelah Rafa mengeluarkan kentut tanpa aba-aba.
“Fa`, lo gak usah bikin malu kaum Adam deh.” Tegur Azwir menutup hidung, melawan indra penciumannya.
“Gue gak kenal sama orang yang habis kentut!” Pradig mulai menggeliat mati-matian membunuh penciumannya. “Otak gue sekarat, bau kentut lo.” Timpal Hanif susah payah membuka kaca jendela.