***
Elza berjalan keluar hotel, di depan sana ada beberapa pedagang yang menetap. Elza sudah memesan seblak untuk Arnanda begitu juga dengan cappuccino. Terlihat cukup ramai keadaan di luar sini, tapi di dalam juga tidak kalah ributnya.
“Hoi! Bego wadah muntahan!” Panggil Saga menepuk punggung Elza bersahabat.
“Ha?” Elza menoleh bingung.
“Iya, elo.” Dengan wajah tampan barbar itu ia tersenyum. Elza menaikkan sebelah alis, semakin tak mengenalinya.
“Gue yang ngasih jaket. Hadeh, gue Saga. Lo, juga yang habis kena muntahan temen lo tadi. Di depan bis,” ia menyapa ringan meski cara menjelaskannya tidak berurutan, dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Lah?! Sag–Kastel?” Elza tercengang, bagaimana bisa Saga sampai disini?
“Ternyata lo manggil nama gue, kastel..? Hahahah, bego. Wajah lo lucu banget, pengen gue karungi.” Saga mencubit pipi Elza yang masih bingung dengan keberadaannya.
“Gue lagi mimpi?” Gumam Elza masih tak percaya, cowok yang baru saja menyatakan kalau Elza ini miliknya. Elza sendiri tak bisa merespon santai, degup jantungnya terpompa dua kali lebih cepat.
“Kenapa, kaget gitu. Hati lo geter gegara ketemu gue?” Saga mengelus kepala Elza pelan, Elza membiarkannya sesaat lalu beralih membayar pesanan.
“Geter? Iya nih hp gue geter.” Lalu pergi lebih dulu, masih bisa merespon dengan hati tenang.
“Enggak gitu konsepnya, Elza. Heh, tunggu kek.” Saga langsung berlari menyusul.
“Hm?”
“Buset, dingin banget lo. Si bego jadi kayak es batu berjalan gitu.” Kekeh Saga melihat Elza nyengir, bingung mau membalas bagaimana.
“Mau kemana lo?”
“Kamar cowok,”
“Ciah, nganterin gue, nih?”
“Nganterin pesenan.”
“Siapa?”
“Orang.”
“Oh, majikan lo itu?” Saga menunjuk pipi Elza, yang hendak menengok dan berhasil membuatnya bersentuhan. “Gue anter!” Seru Saga kegirangan langsung menyambar tangan Elza dan menariknya memasuki lift.
“Lo pegang tangan gue, kaki lo patah.” Elza mengancam menukik tatapan tajam pada Saga.
“Iye, horror banget lo. Pantes gue gak berani nembak di depan elo langsung,” Saga bergumam dan melepaskan genggamanya, lalu memencet tombol lift menuju lantai dimana banyak kamar yang memang di khususkan untuk peserta cowok.
Saga melangkah lebih dulu setelah tiba di koridor, membuat Elza mengikutinya dari belakang. Koridor yang terlihat angkuh, pintu-pintu kamar yang tak dibiarkan terbuka begitu saja. Di setiap pintunya ada kertas yang bertuliskan nama sekolah atau sejenis club yang mengikuti perlombaan, rata-rata setengah dari hotel ini sudah di jadikan penginapan untuk peserta.
“SMA Binusvi, kan?” Tanya Saga menatap Elza dan mengembangkan senyum hangat. Dijawab anggukan dengan senyum kecil.
“Lo juga dari sana, kan. Eh, pinter juga lo ngumpet-ngumpet bisa masuk bus.” Elza menerka bagaimana Saga bisa sampai disini.
“Elah, Za. Gue punya kamar sendiri kali, gue juga gak ngumpet-ngumpet masuk bus.” Saga menunjuk kamar bersebelahan dengan kamar Binusvi, tak tahu mau menjelaskan dari mana.
“Dojang…Centaki?”
“Centauri.” Ralat Saga tidak keberatan.
“Ntu maksut gue.” Elza nyengir, khawatir.
“Sans ae, lo kan temen gue yang bakal jadi cewek gue.” Saga menepuk kepala Elza sekenanya, belum sempat Elza mengancam atau sekedar menghindar dari tepukan Saga yang terasa tiba-tiba ini.
“Inget, kalo kita ketemu lagi diatas arena. Lo bakal tetep jadi cewek gue.” Saga menegur.
Kening Elza mengkerut, mencerna kalimatnya. “Ha? Lo peserta? Tunggu, berarti lo–“
Belum selesai Elza meneruskan kalimatnya, Arnanda sudah membuka pintu memastikan sesuatu.
“Oke, gue duluan. Nanti lagi!” Saga beralih dan memasuki kamar sebelah yang memang kamarnya, di dalam teman-temannya sudah ribut ketika Saga datang.
Elza kaku, beranggapan kalau perkiraannya itu salah.
“Dugong, sini buruan. Heh, lo baru tau kalau bocah itu jadi penghianat Binusvi?” Celetuk Arnanda mengambil pesanannya yang di tangan Elza, ia mengagguk tak ambil peduli.
“Wih, gue masuk ya!” Tiba-tiba reaksi Elza berubah setelah melihat Azwir dan Arkan melambai sambil bermain PS di dalam sana. Elza termasuk cewek yang cukup sering diajak mabar dengan beberapa teman cowok.
“Buset, gak pernah liat sikon lo.” Decak Arnanda tak percaya.
“Gue tau kok, itu kan emang janji Taekwondo.” Ia menepuk pundak Arnanda pelan sambil tersenyum, semburat kecewa terlihat di sana.