***
Bagian panahan sudah bersiap untuk latihan. Lila dan Aska sempat melambai ringan pada Fairuz dan Vicki yang terlihat di bagian kerumunan peserta olahraga lainnya.
“Tangan gue dingin,” gumam Lila setelah memasang pelindung jari. Sepintas menggerak-gerakkan kedua tangannya agar tidak terlalu kaku.
“Grogi lo? Baru juga latihan pertama,” Aska menertawakan Lila yang terlihat jelas kalau dia grogi setengah mati.
Tapi Lila tetap menyangkal dengan menggelengkan kepala kuat. “Siapa yang grogi? Elo, kali.” Lila kini beralih ke busurnya, begitu juga dengan Aska. Ia hanya tersenyum mengiakan.
Peserta panahan diperintahkan untuk langsung kumpul setelah bersiap di barak masing-masing.
“Baru juga karantina, gak usah tegang.” Coach Ammy menegur meyakinkan mereka. Mereka mengangguk yakin.
Peserta panahan telah berkumpul. Dan tak terjadi kendala sama sekali. Jam menunjukkan pukul enam sore, mereka berangsur-angsur kembali ke hotel. Lila sudah mengalihkan perhatian ke jalan-jalan sebrang untuk mencari keberadaan Alano yang sebelumnya akan mengunjunginnya. Karna sedaritadi ia belum sempat memberi kabar kalau ia sudah tiba.
“Widih, mau ketemu gebetan nih?” Aska menyenggol jahil. Lila mengangguk senang, Aska kembali diam. “Gak usah ganggu lo, kesel gue kalau lo nongol.” Lila memperingati,
“Idih, kuker gue ganggu elo.” Aska berusaha tegar, ia tengah melawan rasa cemburu yang baru ia sadari akhir-akhir ini. Ia kira, kedekatannya dengan Lila sudah bisa dibilang temen rasa pacar, tapi sepertinya tidak.
Lila diam meneruskan jalannya sambil sesekali menyematkan senyum kecil, tak sabar bertemu Alano. Sesaat Lila meng-flashback dimana ia yang dulu lupa ingatan, di sana ia hanya mengingat kedua orang tuanya, kakaknya, Elza, Fairuz, dan rasa familiar yang menjadi kebiasaannya untuk bisa mengenali kalau orang itu dari masa lalunya.
Aska, salah satunya. Pertama kali bertemu, ia sudah merasa akrab. Padahal cuman sepintas tahu, seketika rasa nyaman itu tumbuh. Itu yang terjadi untuk sosok Lila yang punya insting alami bawaannya.
“Gue gak mau ganggu elo, tapi gue pengen lo jadi milik gue.”
Tiba-tiba Aska berujar, entah apa yang ia maksud. Nahasnya, Lila tidak begitu dengar dengan jelas dan mengira kalau Aska tengah bermonolog. “Horror banget lo, ngomong sendiri.”
Aska menoleh, memasang wajah bingung. Menyadari kalau Lila tidak mendengar kalimatnya dengan jelas. “Gue enggak ngomong sendiri… Yah, elonya aja yang gak peka.” Aska tersenyum kecut.
“Enak aja, elo juga gak peka.” Sangkal Lila sengaja menginjak kakinya.
“Anjim, diem deh. Lo aja gak peka kalo gue cantingan. Asal nginjek dikira apaan,” ia mengaduh sengaja terlihat sok sakit. Padahal kakinya baik-baik saja.
“Elo yang jorok! Masak cantingan di pelihara.”
“Penyakit elah.”
“Bukan penyakit namanya, cuman kuku yang tumbuh diantara daging.” Jelas Lila men-copy kalimat Elza.
“Iyain aja deh, yang pinternya kelewatan.”
“Hish!” Lila mendengus kesal.
“Dipuji malah marah, telinga lo kemana?” Aska juga merasa tak salah dengan kalimatnya tadi.
“Iye, gue denger.” Akhirnya Lila menyerah, mukanya memerah, malu.
“Wajah lo merah tuh, kalo lo sakit gue yang susah.” Tanpa aba-aba Aska memakaikan jaketnya pada bahu Lila.
Wajahnya semakin memerah. “K-kenapa jadi elo yang susah? Gue kepanasan, dasar.”
“Susah ngendaliin khawatir gue buat elo,” Aska masih menata jaketnya di pundak Lila.
Reflek tangan Lila menepuk wajah Aska yang tepat di hadapannya itu. Bukan apa-apa, hanya saja Lila melihat Alano yang di sebrang jalan sana.
“Alano!” Lila mengenyahkan tangan dan jaket Aska begitu saja, menghampiri Alano tanpa peduli kalau ia harus ketinggalan rombongan. Wajah Alano membekas lebam lagi, kali ini tidak terlalu jelas.
Aska terdiam, merasa tersingkirkan begitu saja. Tak mau terlihat mengenaskan, akhirnya ia memutuskan pergi meninggalkan Lila bersama Alano.
“Wajah lo napa?” Ia menghindar dan berusaha mengelak sebisanya. “Enggak, bukan apa-apa.”
“Siapa tadi?” Alano mengalihkan topik. “Aska, bocah yang kudu diurus.” Lila menjawab seadanya, masih memeriksa luka Alano. Wajah Alano pucat. Meski begitu ia tetap berusaha memasang senyum. Lila yang melihatnya itu sudah dibuat khawatir setengah mati.
“Lan, lo kalo ada masalah cerita ke gue kek…gue juga pengen bantu elo,” ucap Lila akhirnya.
Alano menatap Lila merasa bersalah. Ia menggeleng dan mengecup sesaat. “Bukan masalah besar,”
“Atau lo udah gak sayang sama gue? Lo punya cewek lain? Lo–“
Tiba-tiba Alano memeluk Lila sangat erat. Lila tak melanjutkan kalimatnya, perlakuan ini sudah seperti jawaban atas pertanyaan Lila. Alano sendiri tak tahu bagaimana dengan perasaannya sekarang, ia sudah cukup lelah menahannya sampai saat ini. Tapi ia tak punya pilihan selain melindungi atau melepaskan.
Cinta itu rumit…tak perlu penjelasan tapi seribu cobaan.
“Lil…gue harus gimana?” Gumam Alano bimbang sendiri, Lila mengedikkan alis bingung dan tak tau apa yang ia gumamkan.
***
“WOI, REHENK SYALAN!”
Rehan tertawa terbahak-bahak sambil berlari cepat menyusuri lobi hotel menghindari Aurora yang sudah mengamuk karena hp yang baru saja di bagikan lagi pada mereka malah menjadi bahan lelucon seperti wallpaper ponselnya diganti dengan foto Zidan, cowok yang pernah ia suka dari 12 MIPA 1.
Dengan tulisan ‘Gimana bucin-nya? Enakan zamanku toh?’
“Lo ngejar tandanya lo sayang sama gue!” Rehan berteriak tak kalah keras dengan suara Rora.
“BERHENTI GAK, LO!” Teriak Rora menggelegar, terus berlari cepat walaupun kesusahan tambah lagi banyak orang yang berkerumunan. Nyatanya juga enggak salah kalau Rora memang sayang sama Rehan, jadi ia tidak minat untuk berhenti begitu saja.
Rehan terus tertawa riang dengan geli dan puas, melintasi kerumunan orang dan kembali, mengecoh. Rora yang sudah kelelahan pun berhenti dan menarik napas yang terengah-engah. Rehan menoleh kebelakang, tertawa menyeringai mengejek melihat Aurora berhenti mengejar.
BUK!
Aurora mendelik, melihat Rehan dan temannya Arnanda itu sudah terjatuh ke lantai dan tersuruk sempurna. Membuat para peserta yang baru saja masuk dan mendapati pemandangan ini spontan menoleh.
“Buset njir, Arnan–senior…?” Rehan sempat mengumpat sebelum melihat wajah Arnanda yang sesaat itu terlihat mengerikan, di tengahi sen Caraka yang sudah siap meraung bak macan menemukan mangsanya.