***
Makan malam sudah terlewatkan juga dua pekan penuh latihan. Formasi duduk sudah berubah-ubah sesuai selera, tidak mengandalkan para pembimbing untuk mengatur lagi.
Fairuz dan Lila sudah beranjak berniat mengambil botol minum, rasa lega tercurah karna bisa mengatasi jadwal latihan dan juga mendapat teman yang sewaktu-waktu bisa menjadi musuh di atas arena nanti.
Untuk akhir-akhir ini tak sedikit cowok Binusvi yang cepat dikerumuni cewek-cewek lain, memang rata-rata cowok binusvi cukup tampan walaupun rada senklek. Anak cewek Binusvi juga tak kalah ramai, meski dengan cara berbeda dari pendekatan biasanya.
“H-hai, Vick. Lo mau–“ Fairuz mencoba menyapa dengan rasa canggung, tepat sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Anak cewek dari SMA lain sudah mengajak Vicki ngobrol dan menebar kegenitan.
“Ah, hahaha. Gue ngapain sih? Bodo’ lah,” Fairuz menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berusaha terlihat tegar dan tak baik-baik saja.
Fairuz memilih undur diri, merasa tak pantas kalau tiba-tiba ia merebut Vicki di hadapan umum lagi. Lagipula ia sudah mendapat teguran dari banyak orang untuk menjauhi Vicki.
Kalau boleh jujur, para lelaki yang di kerumuni itu juga tak betah kalau menjadi sorotan seperti ini. Mereka sudah berusaha mencari waktu untuk bisa istirahat dengan tenang ataupun sekedar tegur sapa dengan teman seperjuangan mereka. Tapi mereka kalap oleh cewek-cewek yang tak punya malu ini.
Dalam waktu dekat pun Fairuz sudah dekat dengan Delan, cowok imut yang perhatian padanya dan tak segan untuk membantunya dikala kesusahan dalam latihan. Lila juga masih berusaha mendapat kabar dari Alano, pikirnya karna sekota mungkin akan sering bertemu, tapi nyatanya mereka hanya bertemu di hari pertama setelahnya tidak.
“Gue mau ke UKS,” Pamit Fairuz pada Lila.
“Ngapain?”
“Nostalgia,” Fairuz memasang wajah cengir menutupi rasa sedihnya, ia jadi jarang bersama Vicki, menyapanya saja susah.
Fairuz sudah jalan menuju UKS, Lila berniat mengikutinya tapi tangannya disangkal oleh seseorang, spontan Lila menoleh mendapati seorang cowok.
“Eh, sori. Bisa anterin ke lantai kamar cowok? Gue telat…,” wajah tampak tak bersalah itu merajuk, rambut coklat ke emasan bekas semir terlihat jelas di mata Lila.
Permintaan itu membuat Lila elus dada tapi juga tak enak kalau ditolak. Akhirnya Lila menemani lelaki itu ke lantai kamar khusus cowok, karna kalau dilihat-lihat lagi sudah tidak ada cowok di aula.
“Lo telat? Bagian apa? Oh, nama gue Lila. Kayaknya gue pernah lihat elo…” Lila mencomot banyak pertanyaan untuk memecah rasa canggung.
“Hahaha, pertanyaan lo langsung banyak gitu. Gue Amar, sans ae.” Kekeh Amar berhasil membuat Lila malu, meski ia terlihat tidak menjawab pertanyaan lain yang Lila lontarkan. Amar langsung mengganti topik lagi dengan lelucon dan canda tawa yang terasa natural.
Selesai makan, cowok Binusvi langsung memilih memasuki kamar, daripada harus meladeni kerumunan sumpek dari cewek-cewek lonte.
“Heh, ternyata Saga itu dari dojang Centauri, anjing. Ngerasa terhianati gue. Udah sekitar dua pekan gue pas-pasan sama bajingan kek dia,” ucap Akbar menampilkan wajah datarnya sambil menatap luar jendela kamar.
Ismi yang kaget mendengar hal itu langsung menyemburkan air di dalam mulutnya tepat di wajah Rafa. Rafa nampak belum tersadar dari kagetnya malah mengerjap-ngerjapkan matanya seperti orang bodoh.
“Idih. Yakin lo, nying?” Vicki yang menegang itu bergidik jijik melihat temannya yang satu itu. Akbar hanya mengangguk.
“Eh, kamar kita bocor ya?” Rafa mengusap wajahnya dengan kasar sambil mendongakkan kepalanya ke atap kamar.
Sebenarnya Rafa bingung, hujan aja enggak, lagipula dia di hotel bukan di lantai paling atas masa atap hotel begini bisa bocor? Lalu itu air dari mana? Rafa masih saja terus memikirkannya.
“Heh dugong! Gue kira atap kamar yang bocor ternyata dari mulut lo ya!” Rafa langsung menubruki Ismi dan menghadiahinya jitakan-jitakan di kepala lelaki itu.
“Perang duni lain nih.” Pekik Akbar.
Vicki menatap jengah dua laki-laki itu. Sebuah telpon dari hpnya masuk, alhasil ia langsung berjalan keluar kamar untuk mencari ketenangan. Di sana tidak tertera nama–dari nomor tidak diketahui.
“HEH! Gue tau elo yang mana, anak pembunuh! Jangan kira lo bisa kabur seenak udel, habis kejadian itu. Denger, anak pembunuh. Mending lo mati sekalian pas di barak.”
Vicki terdiam, hal ini sudah tak lagi asing di telinga Vicki. Ia tidak bisa membantah, memang kenyataan ini benar.
“Lo budek?! Jawab bangsat pengecut lo. Heh, tolol. Jangan kira hidup lo udah aman, jangan songong kalo Arnanda udah maafin lo. Gak usah belagu juga lo bisa deket sama Aska lagi, anjing banget lo. Main kabur,”
Tangan Vicki mengepal, menahan kesal dan juga penyesalan. Sebenarnya ia muak dengan kalimat-kalimat itu. Ia sangat ingin menyelesaikannya dengan cepat, tapi ia tidak mendapat dalih untuk menyangkal itu semua. Kejadian yang diperbuat orang tuanya sudah membuat Vicki dipenuhi dengan orang-orang yang membencinya selama hidupnya.
“Lo ngacangin gue?! Bagus, udah gak niat hidup lo. Tenang aja gue ada cara buat lo biar bisa sama sengsaranya kayak ortu pembunuh lo.” Tak lama itu, telpon diputus dari sebrang.
Kejadian yang tak bisa terlupakan dengan mudah, banyak yang telah tersakiti dan menjadi korban termasuk Arnanda. Sahabatnya sendiri yang kini masih setengah hati bisa memaafkannya.
Vicki bersandar, ia memang tidak bisa tinggal diam kalau sudah menyangkut ancaman seperti tadi, yang ia khawatirkan adalah teman-teman terdekatnya. Yang ia yakini pasti mereka akan terseret dalam permasalahan ini. Vicki menghela napas berat lagi, memejamkan mata sejenak.
“Gila, Binusvi ngirim cewek cakep semua. Gue sempet kenalan tadi sama Aurora, pengen gue karungi.” Kekeh cowok yang keluar dari lift, bersama teman-temannya, mereka tidak menyadari keberadaan Vicki di tengah koridor sana.