***
Di sore menjelang malam, Arnanda dan Elza tak kunjung kembali ke hotel. Mereka berniatan untuk membeli headphone sebelum persyaratan lunas ini selesai.
“Gila, kita ketahuan elo yang tanggung.” Cerca Elza yang sebelumnya dipaksa untuk ikut.
“Salah elo, ya elo yang tanggung sendirilah.” Sangkal Arnanda. Tangan Elza mengepal tak terima.
“Beli pake online bisa, bego.”
“Gak ori,”
Elza melengos, percuma berdebat dengan orang otak batu. Matanya tertuju pada gang kecil buntu yang terlihat remang-remang. Ia tertarik melihat hal seperti itu, seperti ada hawa menantang dari dirinya.
BRAK!
“Rangga, lo denger gak?” Elza mencekal kaki Arnanda dengan kakinya, membuat Arnanda hampir tersungkur karna kaget. “Gila, lo.”
Umpat Arnanda tertahan, melihat raut serius dari Elza. Mereka berhenti di sebrang depan gang kecil buntu, terlihat tidak ada siapa-siapa.
“Kucing,” jawab Arnanda malas menangani hal semacam itu, “Dan lagi, nama gue Arnan–“
KRAK!
Mereka membeku, kaget dengan suara kayu patah itu. Arnanda melangkah pasti menuju sebrang sana, dan memastikan gang tersebut. Elza mengikutinya tanpa ragu, mereka memang tak ambil peduli akan ada bahaya apa yang sewaktu-waktu menjemput mereka. Remang-remang dari sorot lampu jalan yang sudah lapuk ditelan usia.
“Mau lagi? Jawab sekarang!”
“Habisin sekalian,”
Suara demi suara bertubrukan, bertumpang tindih antar tonjokan dan tendangan ke suatu tubuh. Perlahan Arnanda melihat sosok cowok yang sudah terkulai habis dari gebukan, tampangnya tak berubah sama sekali masih datar dan dingin. Hanya melihat heran dengan siapa yang susah payah melakukan hal ini. Satu langkah mendekat, berhasil membuat sorot lampu mengenai wajah Arnanda.
“Bangsat! Siapa yang nyuruh masuk?!” Sentak seseorang dari samping Arnanda, cukup dekat. Elza masih di zona gelap, aman dari penglihatan mereka.
“Heh, kalian main di gelap-gelapan gini?” Arnanda mengeluarkan hp dan menyalakan senternya. Terlihat cowok yang sedari tadi memerintah kedua temannya untuk menggebuki seseorang yang sudah terkulai itu. “Ckckck,” Arnanda menggeleng-gelengkan kepalanya santai.
“Siapa lo? Mau nyelamatin congek itu?” Cowok berlagak bos itu maju, menantang Arnanda dengan jarak dekat.
“Gue? Jelas orang, congeknya siapa? Bukannya yang lagi main kroyokan gini?” Timpal Arnanda masih tenang. Elza memilih diam, mengawasi siapa cowok yang terkulai itu.
“Jingan lo, habisin!” Perintah cowok itu pada temannya. Salah satu dari dua itu maju.
Cowok yang terkulai itu berusaha bangkit mencari tau apa yang tengah terjadi, cahaya lampu mengenai wajahnya. Alano sudah berwajah babak belur lantas berusaha duduk. Elza terperangah, merasa pernah melihatnya.
“Idih, cemen lo, bangke.” Arnanda nyengir, cowok itu sudah melontarkan tinju pada Arnanda yang langsung menghindar.
Bagusnya Arnanda sedang tak minat untuk berlama-lama dan melayangkan tendangan telak, menyelesaikan dengan cepat. Mengingat hari sudah menjelang malam.
“Paedi, itu Somad!” Ucap Elza tepat setelah Arnanda menumbangkan lawannya. Kepalanya miring, heran.
Paedi? Somad? Parah nih cewek.
“Wah, gak waras lo manggil gue Paedi.” Arnanda sempat tertawa kecil, mereka tak merasa ada bahaya sedikit pun. Cowok yang tadi berlagak bos itu bergidik, sudah tau siapa lawan di hadapanya ini.
Satu lagi temannya masih menjaga Alano itu ambil cakap, “Cemen lo ditemenin cewek, bangsat.” cowok itu menendang Alano dan kembali tersungkur.
Arnanda dan Elza tak melewati pemandangan itu sepersekian detik. Tendangan demi tendangan membuat Alano merintih, ia sudah tak bisa lagi bertahan. Cowok itu masih menendang Alano tak peduli tatapan ganas dari Elza.
“Tai, lo.” Elza sudah kehilangan kesabarannya, kakinya melontarkan tendangan ke kepala cowok itu membuatnya tersungkur kaget, tendangan telak membuatnya tak lagi bisa melawan.
“Jangan bunuh orang,” tegur Arnanda menyeringai, memang bukan pertama kalinya ia melihat Elza nendang, tapi kali ini ia terlihat seperti singa kutub nyata yang sering menjadi julukannya.
“Joko, pacarnya Rosi, kan?” Elza jongkok melihat keadaan Alano, nama yang ia sebut jauh dari nama asli mereka.
“Sial, brandal–singanya binusvi,” cicit cowok yang tadi sempat berlagak bos, kini ia melangkah mundur. Berniat kabur,
“Inget, Lan! Keputusan di tangan lo, sebelum cewek lo habis di tangan gue!” Ujar cowok itu sebelum lari terbirit-birit meninggalkan gang.
“Ngapain sih?” Arnanda menghampiri Elza dan juga Alano. “Pegang tangan gue,” Elza hendak membantu. “Diem lo, singa.”
Kalah cepat, Arnanda sudah mengambil alih tubuh Alano dan mengangkatnya sempurna ala bridal style.
“Jijik! Mending buang gue ke sungai dari pada lo gendong!” Alano yang merasa posisi ini terlalu aneh, ia terus meronta-ronta sesekali merintih karena luka dan lebam di tubuhnya.
“Suruh siapa lo lelet gitu,” Arnanda tak peduli dengan posisi itu. Elza yang melihat kedua cowok itu teringat dengan isu yang sempat beredar, merasa bahwa ia sudah melihat hal yang tidak senonoh.
“Heh, dia udah punya pacar, masih aja lo embat.” Elza menyikut Arnanda, ia meringis geli.
“Najis gue, sama elo.” Ronta Alano semakin menjadi.
“Berisik, diem bentar. Entar juga nyampe.” Arnanda juga bersikeras mempertahankan posisi menggendongnya.
Ia tidak berniat untuk mengantarnya pulang atau segala macamnya, mereka hanya tiba di bangku bahu jalan. Karna suasana semakin malam, jalan pun semakin sepi.
Alano sudah terlepas dari gendongan Arnanda, ia mengusap-usap seluruh tubuhnya merasa jijik. “Tubuh gue…,” Alano bergidik, berkali-kali merutuki dirinya.
Arnanda sekedar melirik tak peduli.
“Yeah, gue kasih waktu buat kalian deh. Duluan.” Elza berjalan duluan, merasa sudah mengganggu waktu mereka berduaan.
“Heh, Za! Gue tau apa yang lo pikirin. Denger, gue gak homo. Lo juga gak usah mikir yang aneh-aneh.” Arnanda bangkit, sudah melangkah mengikuti Elza dan sempat berbalik menuding Alano untuk tidak berpikiran yang aneh-aneh.
Karna reputasinya sudah cukup hancur sekarang. Padahal Arnanda sendiri tidak sadar bagian mana yang membuat dia bisa dipandang homo, atau dia yang polos, lugu?
“Enggak denger…, enggak denger…, gak ada buktinya.” Elza bercanda, menutupi telinganya dan tertawa kecil. Otaknya sudah melayang membayangkan Arnanda dengan sudut pandang yang seperti itu.
“Dasar…! Gue buktiin.” Arnanda menggeram, menarik lengan Elza dan mendekapnya erat menenggelamkan tubuh itu ke dada bidang miliknya.
Elza yang ditarik dan didekap itu syok berat, tak pernah mendapati kejadian seperti ini.