***
Fight latihan antara Elza dan Arnanda terhenti sejenak, Elza memalingkan pandangannya ke belakang. Seperti ada yang harus ia lakukan di luar sana. Arnanda yang mendapat celah itu nyengir sinis.
“Sok dramatis banget lo,” tendangan ke arah kepala sudah terlontar, tepat saat Elza kembali berhadapan dengan Arnanda. Meleset, sengaja. Elza menatapnya tenang, dan tak sebrutal biasanya.
“Gak bales?” Tanya Arnanda heran dengan raut Elza yang tak bisa ia artikan.
“Break,” ucapnya langsung berbalik, dan duduk. Pandangannya mengawasi sekitar, duel fight antar rival tengah terjadi di penjuru gedung beladiri. Arnanda melangkah mendekatinya, tapi langkah cepat Saga sambil membawa segelas air sudah menabrak tubuh Arnanda.
“Sial, lo kenapa di tengah jalan gini?” Saga berujar kesal.
“Elo yang jalan gak pake mata, juling!” Balas Arnanda tak terima, karna doboknya juga terkena imbas.
“Bjir, gak usah pamer otot juga lo.” Tunjuk Saga, Arnanda baru sadar kalau doboknya memperlihatkan perut kotaknya.
Pantas saja duel fight itu sempat berhenti dan perhatian mereka tertuju pada Saga dan Arnanda, apa lagi cewek-cewek yang menggilai tubuh sixpack seperti ini. Arnanda langsung berjalan ke ruang ganti dengan tatapan tajam ke mereka. Saga tertawa puas, mengganti haluannya menghampiri Elza yang sedari tadi tak memperhatikan apa yang terjadi di depannya tanpa bergeming.
“Bego, ngapain? Kangen gue?” Saga duduk di sebelah Elza, ia tak berminat untuk menjawab. Dan juga ia merasa seperti ada yang menunggu kedatangannya, tapi kedatangan Saga yang antusias menghiburnya ini berhasil membuatnya berpikir dua kali.
“Elo beda, atau gegara gue yang jarang sama elo?” Ucapnya pelan, memancing pendengaran Elza. Lagi-lagi pikiran dan dugaan tentang Saga adalah orang yang ia percaya itu menjadi tumpang tindih tidak jelas.
“Apanya yang beda?”
“Sifat elo,” Saga mendongak mencoba mengingat-ingat sesuatu. Elza sudah berharap lebih, tapi tetap tak mendapat ingatannya sama sekali.
Mereka memutuskan latihan bersama, membuat Saga terus-terusan mengajak Elza mengobrol dan bercanda di sela-sela latihan. Sampai jam latihan pagi usai, waktunya mereka kembali ke hotel untuk makan siang dan istirahat sejenak.
“Yap, ayo balik.” Ajak Saga dan Elza berjalan beriringan menuju hotel.
Arnanda berjalan lebih lambat, memikirkan apakah ia harus ke lapangan tenis atau kembali ke hotel. Ditambah lagi karna ini sudah jam latihan selesai mungkin mereka sudah istirahat di hotel atau malah sebaliknya dan malah menetap di sana?
Tangan Saga sudah lihai untuk menggandeng tangan kaku Elza, “Lepasin tangan gue.” Elza memaksa, kali ini moodnya berubah begitu cepat. Mungkin ia sedang PMS, atau memang sikapnya seperti ini?
“Idih, gitu amat. Perasaan tadi tangan gue dibiarin,” cengirnya tak merasa bersalah.
Elza tak menjawab, rasa khawatir dan gelisahnya ini semakin melanda. Tak tahu siapa yang ia resahkan tapi dalam hati ia seperti ada dorongan untuk melakukan sesuatu, tapi sesuatu seperti apa? Langit tiba-tiba tak bersahabat, mendung dan guntur berdatangan.
“Lah, hujan. Kesana dulu,” tarik Saga tak mempedulikan omelan yang akan ia terima kalau menarik tangannya lagi untuk berteduh. Sebagian peserta sudah berjalan jauh di depan sana menghindari rintikan hujan.
“Ngapain berteduh?” Elza melepas tangan Saga dan mengarahkan telapak tangannya ke rintikan hujan.
“Gue suka.” Elza menatap langit-langit, pikiranya sudah melayang entah kemana.
“Hah?”
“Dingin,” mendengar itu, Saga reflek memasangkan jaket merasa lampu hijau bersinar terang untuk berlayar.
Elza menggeleng cepat.
“Enggak, bukan ini.” Wajahnya melunak, tak lagi tergambar wajah garang dan judes khas Elza. Wajahnya tenang, dan tengah menikmati deburan angin hujan.
Saga berusaha tenang dengan debaran degub jantung yang luar biasa cepat, tak pernah mengira kalau mendapatkannya akan semudah ini.
Elza melepas jaket pemberian Saga, dan ganti memakaikan ke bahu lebar Saga. Saga sendiri memasang wajah heran sekaligus bersemu merah, tak percaya.
“Gue juga suka sama elo.” Balas Saga ragu sambil menatapnya juga ingin mengungkapkan perasaannya, Elza justru menggeleng.
“Dingin, gue suka dingin.” Senyum Elza mengembang hangat, tak pernah ia mengeluarkan senyum seperti itu.
Jantung Saga mencelos bak turun ke ginjal, seketika redup kehilangan artian kata dari apa yang telah ia dengar. Saga terlalu bodoh menganggap Elza gampang, terlebih lagi, dengan bodohnya Saga mengungkapkan perasaannya pada Elza.
Elza kembali menghadap hujan, sudah memejamkan mata, membayangkan dirinya bisa hujan-hujanan.
“Disini aja, sama gue. Gue temenin,” cekal Saga sudah memperkirakan kalau Elza akan melompat ke sisi hujan dan hujan-hujanan layaknya anak kecil. Tak apa meski hatinya telah terluka karna sekalimat yang tak bisa ia terka, tapi itu masih belum meruntuhkan tekadnya.
“Enggak, gue duluan!” Cewek itu sudah ngacir tak mempedulikan kalau jaket dan bodyprotector yang ia bawa basah, Saga tersenyum kecut.
“Sial! Selangkah buat deket aja susah banget, gila. Gue enggak akan nyerah sebelum gue ketemu kegagalan,” dumel Saga frustasi.
Sejenak ia menoleh ke belakang memastikan seseorang yang ia incar, tapi tidak ada seorang pun di sana.
Saga menyeringai puas, ia sadar kalau Arnanda tadi di belakang mereka tapi sekarang tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Saga kembali ke jalan sebelumnya, mengeluarkan payung lipat dan tak lagi mempedulikan kepergian Elza.
Ia menyusuri jalanan yang sudah ia lewati, dengan lagak songong dan juga senyum penantian sinisnya terukir jelas. Ia berhenti di depan gang, sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi di dalam sana.
“Bangsat! Lila habis lo apain?!”
“Sante bro, enggak bakal mati kok.”
“Njir, lo bukan siapa-siapanya tapi sok care gitu, mana cewek barbar lo?”
Saga muncul, melihat Arnanda yang sudah basah kuyup. Dan juga Lila yang sengaja diikat di tiang listrik, dengan keadaan tak sadarkan diri. Ardi dan Amar berdiri menegang melihat kedatangan Saga.
“Siapa cewek yang kalian cari?” Tanya Saga sinis sedikit mengancam, Arnanda menoleh waspada.
“Gue tanya, siapa yang kalian cari?!” Saga menendang tong sampah di sebelahnya. Ardi maju selangkah mengikuti arahan jari Saga yang menyuruhnya mendekat. “Sportif,” gumam Saga di telinga Ardi.
Amar tetap menjaga Lila dari gerak-gerik Arnanda yang berusaha mengambil kesempatan dalam kesempitan. Untuk kali ini Arnanda percaya bahwa Saga mau membantunya dan bisa mengalihkan perhatian dua orang ini.
“Heh, lo mau ngapain?” Ancam Amar menahan Arnanda. Ia menaikkan sebelah alisnya, tak kenal dengan orang ini. “Budek? Dasar cecunguk.” Umpat Amar sejadinya.
JLEB!
“Otak lo aja yang gak waras.” Arnanda membantah, tepat setelah sesuatu menyengat di pundak kanannya. Seketika tubuhnya lemas, matanya berkunang-kunang, di sepersekian detik ia sudah jatuh pingsan.
“Heh, sekali lagi gue ingetin. Jangan ganggu cewek itu, dan Elza bukan ceweknya Arnanda! Gue nyuruh kalian buat sportif di jalan gue, dasar pengecut.” Tatapan tajam Saga nyalang ke arah Ardi dan Amar yang masih tercengang melihat tangan Saga sudah menancapkan obat bius pada Arnanda. Mereka tak berani berkelut.
“Jaga cewek doang buat mancing, apa susahnya sih?!” Sentak Saga kesal dengan mereka.
“Kalo gini, jadi nambah kerjaan. Taruh kotoran ini di jalan, kita udah ngumumin deklarasi perang ke Binusvi.” Decaknya menunjuk tubuh Arnanda. Dan keluar dari gang begitu saja.
Ardi dan Amar masih saling tatap, tak pernah mengira kalau Saga membawa bius seperti itu dan menancapkaanya tanpa ragu.
“Sialan! Dia pikir mancing macan gila segampang itu buat keluar idup-idup?!” Kesal Amar tak terima dengan perlakuan Saga.
“Anjing tuh orang, main nyuruh aja.” Gumam Ardi ikut kesal, Ardi sudah memindahkan Lila ke pinggir. Dan memberikannya tempat yang lebih layak, tangannya perlahan membenarkan rambut Lila yang tergerai berantakan.
“Bacot lo, bantu angkat nih tai.” Amar kesal dan tak terima kalau Ardi menyentuh Lila seperti itu.
“Berisik lo,” mereka memindahkan tubuh Arnanda dengan asal-asalan menuju trotoar jalan yang biasa di lalui banyak orang. Kebetulan sekarang hujan dan guntur tengah melanda tengah kota, jadi jalanan sangat sepi begitu juga kabut mulai berdatangan.
“Heh, kalo mereka gak di temuin, terus mati gimana?”
“Paling juga cuman di diskualifikasi, kalo mati sih urusan sama yang di atas sana. Gak ada urusannya sama kita. Biarin aja, yang lain udah pada nunggu. Balik gih,”