A-Teen

Zzardna
Chapter #23

ー||ー

***

Sore itu menjadi sore yang panjang, dan juga malam penuh harapan. Lila diberi waktu untuk istirahat karena masih syok dengan apa yang telah terjadi, dan ia tidak mengetahui siapa yang sudah membuatnya seperti itu.

Arnanda terpaksa dirawat mandiri, ia bersikeras tak menerima rujukan ke rumah sakit. Dengan begitu, pelatih mereka memutuskan untuk mengumpulkan tim voli dan beberapa yang belum tau apa-apa. Kecuali pak Heri yang sengaja tidak di kabari apa yang telah menimpa mereka sekarang.

“Gini aja gampangnya, buat malam ini. Kita gantian jaga di kamar cowok. Nanti kak May sama coach Dessy mau beli air kelapa. Terus, buat besok. Kita tetep lanjutin jadwal. Tetep bareng-bareng sama kompak aja,” jelas Elza sekenanya, karna ia tak pandai dalam menyampaikan sesuatu seperti ini. Tapi lebih dari cukup mampu dipahami oleh mereka dari pada penjelasan sen Caraka yang cukup ngegas dan tak beraturan.

“Kak Citra, coach Ammy, Za.” Ralat Ghaida sempat tertawa di tengah-tengah penjelasan.

“Gila, ternyata mereka bolos gegara sakit?” Aurora dan Zahra cukup terkejut.

“Wah, lemah banget tuh cowok.” Neysa berujar malas.

“Keracunan sama ditelantarin ditengah jalan lho, Ney. Udah gitu Lila di gituin lagi,” Firdiv sempat kesal dengan sifat santuy Neysa, dibalas anggukan tak minat debat.

“Njir, siapa yang ngeracuni sih? Kurang kerjaan banget.”

“Heh, siapa juga yang berani nyulik Lila kek gitu? Sadis,” Kayl dan Nabila bersahutan tak mendapat jawaban.

“Wah, manusia-manusia sialan yang udah bikin kita kayak gini udah bangkitin dinding permusuhan.” Ungkap mereka terlalu mendramatisir.

“Gue sama Elza standby di sana, kalian juga jaga Lila. Siapa tau penculiknya nyamperin sampe sini,” ucapan Fairuz memecah keributan mereka, berhasil membuat wajah mereka cengo.

“Astagfirullah, gue merinding.” Izzul memeluk tubuhnya sendiri.

“Seru tuh, ntar di ajakin main petak umpet.” Neysa dan Ghaida malah semakin tak peduli.

Dengan begitu, mereka sepakat untuk menjalani rutinitas yang bertahan sampai pertandingan selesai.

Dua hal yang mereka khawatirkan, waktu dan siapa yang akan mereka lawan kalau masih dalam keadaan ini. Kalaupun tim basket mendapat urutan tanding terdepan mungkin mereka akan kalah dengan mudah, dan lagi kalau lawan mereka lebih tangguh, kemungkinan daya tahan tubuh mereka juga akan merosot lebih cepat.

Jadi hanya ada kemungkinan kecil untuk mereka bisa menang

Hebatnya, Arnanda sudah bisa membaik dengan cepat. Setibanya, ia berendam air panas lima kali berturut-turut, sampai ia ketiduran di dalam bathup.

“Heh, enak banget idup lo.” Ucap sen Caraka kesal sendiri. Arnanda tak berminat untuk menjawab, ditambah lagi pita suaranya masih mati rasa tak bisa diajak kompromi.

“Hadeh, asal lo sehat ajalah.” Tangan sen Caraka menepuk kepala Arnanda, masih khawatir dengan anak didiknya yang baru saja mengalami kejadian seperti itu.

Arnanda tidak merespon, dan tidak lagi menghindari tepukan sen Caraka. Aneh, kata itu yang tertaut dalam pikiran sen Caraka.

“C-cepetan sehat,” sen Caraka semakin dibuat khawatir, karna Arnanda tidak merespon seperti biasanya. Sen Caraka keluar dari kamar mandi setelah menyediakan air panas untuk Arnanda tadi.

Elza yang baru saja masuk hendak mengecek suhu tubuh yang di dalam kamar ini, ia berhenti sejenak memperhatikan raut sen Caraka yang tak menentu.

“Kenapa sen?” Tanya Elza, diikuti Firdiv dan Zahra masuk setelahnya mereka langsung mengecek keadaan. Mengisi ulang air minum, dan mengganti kompres.

“Tomi, dimana?” Elza melontarkan pertanyaan lagi, sen Caraka mendongak setelah duduk sebentar.

“Arnanda?” Telunjuk sen Caraka sudah menunjuk ke kamar mandi. Dengan helaan napas sedikit kesal Elza beralih dan mengetuk pintu kamar mandi.

“Heh, lo mau sampe kapan di sana?” Ketukan Elza berhasil membuat Firdiv dan Zahra menoleh, ini sudah ketiga kalinya mereka berganti jaga dengan kelompok lain. Tapi Arnanda juga tak kunjung keluar, sudah sekitar 7 jam ia di dalam sana. Dan sekarang sudah tengah malam.

“Belum keluar juga?” Zahra bersungut memasang kompres ke dahi Fatur,

“Yakin enggak keluar sama sekali?” Firdiv sempat menengok ke arah sen Caraka dan dijawab gelengan kepala. “Dhif, lo bisa duduk? Makan dulu, lo belum makan dari tadi.” Firdiv sudah disibukkan untuk menyuapi Nadhif yang sebenarnya malu setengah mati dengan keadaannya seperti ini.

“Gue masuk–“ Elza sudah membuka pintu tanpa perlu basa-basi lagi, sontak Firdiv, Zahra, sen Caraka, dan Nadhif yang baru tersadar pun kaget dengan keputusan Elza yang sudah menghilang dibalik pintu kamar mandi.

“Buset,”

“Anying, bukan temen gue.”

Firdiv dan Zahra malu sendiri melihat kelakuan temannya yang barbar itu. Sen Caraka langsung beranjak dan membuka pintu kamar mandi, mengawasi mereka dalam diam.

Untungnya kamar mandi hotel itu sangat elit, kamar mandi yang cukup luas dan bathup yang tertutup korden sempurna hanya menyisakan bagian kepala Arnanda yang muncul di atas perairan berwarna putih penuh sabun, tidak memperlihatkan tubuh lainnya selain leher dan kepalanya. Ia berendam dalam lamunan.

“Sump–gue lupa kalo elo lagi mandi,” decak Elza baru menyadari kebodohannya.

“Sinting lo! Ngapain mas-suk?” Arnanda tercekat suaranya masih tertahan, ia hampir berdiri dari posisi duduknya dan kembali duduk sampai beberapa air tumpah keluar dari bathup.

“Elo yang keluar. Ngeremin berapa anak sih lo, betah amat. Tubuh lo juga udah sekeriput apa?” Elza diam di tempat, merasa bersalah kalau ia lebih dekat dari posisinya sekarang.

Ini memang tak masuk akal, tapi berhasil membuat suara Arnanda keluar lagi. Entah ada perasaan apa, tapi Elza merasa lega kalau mendengar suara khas milik Arnanda.

“Keluar gih. Lo mau nungguin gue?” Arnanda kembali meringkuk melindungi tubuhnya di dalam air.

“Sampe lo keluar–“

“Za, otak lo kecantol dimana sih? Dia mau keluar tapi malu kalo ada elo disini, masak gitu aja harus gue jelasin?” Potong sen Caraka akhirnya masuk, merasa percakapan mereka sudah cukup karna Arnanda sudah bisa merespon. Mungkin karena ini hal yang cukup di luar nalarnya, siapa sangka ada cewek yang masuk ke kamar mandi cowok tanpa merasa bersalah?

“O-oh, gitu aja malu elah.” Elza berujar santai, dan berjalan keluar kamar mandi. Diikuti sen Caraka yang juga keluar membiarkan Arnanda menyelesaikan panggilan alamnya.

“Sinting lo, Za. Main masuk aja,” Zahra sudah merinding sendiri.

“He`eh, Arnanda tuh cowok lho, Za. Udah nih, kita ganti ke kamar sebelah yuk.” Ajak Firdiv sudah menyelesaikan tugasnya. Di kamar ini hanya di isikan 3 orang, dan disini sudah ada sen Caraka yang standby.

“Yap, thanks yo. Heh, Za. Gue peringatin elo, buat jangan pernah ngulangin kayak tadi.” Sen Caraka menegaskan maksudnya sambil menepuk kasar ke pundak Elza.

Ia sekedar mengenyahkan dan memasang senyum terpaksa lantas berlalu.

“Jangan-jangan lo enggak pernah nganggep cowok kayak mereka itu laki-laki?” Ucap Zahra menutup pintu kamar, menyenggol sikut Elza agar menjawab.

“Hm? Apa bedanya laki-laki sama cowok? Lagipula kita sama-sama manusia,” jawabnya santai.

“Hadeeh, cowok tuh bisa jadi lelaki dewasa, Za. Lo juga gak usah nyamain cowok-cewek seenak jidat.” Firdiv menggeleng tangannya sudah membuka pintu kamar sebelah.

“Kan sama-sama manusia,” Elza bersikeras dengan jawabannya.

“Bukan temen gue…,” Zahra bersungut malu,

Di dalam kamar ini, Fairuz yang masih standby. Meski ia terkantuk-kantuk di sofa, tapi reflek terbangun setelah mendengar suara pintu terbuka.

“Lah gini kek ada yang gantiin, gue mau jenguk Lila dulu. Bosen gue.” Fairuz beranjak setelah memastikan suhu tubuh Vicki sejenak. Fairuz sudah dua kali bergantian jaga karna ingin menemani Lila.

“Yoa, ntar gue nyusul.” Balasnya, mengangguk seadanya.

“Jenguk Lila aja gih, Za. Elo udah bantu jaga berapa kelompok dari tadi?”

“Sahabat lo tuh,” Firdiv dan Zahra tak keberatan kalau Elza meninggalkan tugasnya sebentar.

“Nanti, gampang.” Ucapnya mengentengkan.

“Pergi gih, keburu Fairuz udah ilang duluan.” Paksa Firdiv mempersilahkan.

Lihat selengkapnya