***
Serangan terakhir yang bisa di raih Fatur mencetak dua poin tepat sebelum dirinya kelelahan. Seluruh perhatian peserta dan juga penonton mengarah ke lapangan basket, tim Binusvi yang paling disorot. Bukan karna mereka mencetak poin atau pun menang, melainkan satu persatu dari mereka perlahan tumbang.
“Huuu! Kalah! Kalah!”
“Mundur aja!”
“Pelita! Pelita! Pelita!”
Sorakan demi sorakan berujar keras, bukan lagi menyoraki Binusvi tapi menyoraki tim lawan. Akbar yang masih mempertahankan kakinya itu merosot kelelahan. Aji dan Rafa sudah tidak sadarkan diri sudah dilarikan ke bilik Binusvi. Fisik dan mental mereka down seketika.
“Sialan!” Umpat Aska ikut kesal hanya dengan mendengar sorakan kekalahan, kepalanya juga terasa semakin berat.
“Za?” Lila menengok ke sana kemari mencari sosok Elza. Tapi nihil, Elza dan Fairuz sudah berlari ke bilik lapangan untuk membantu mereka. Lila sendiri tak tahu harus bagaimana, ia melihat wajah Arnanda, Aska, dan Vicki juga semakin memucat. Tim voli duduk di sisi lain yang lebih jauh. Ia berdiri.
“Nand, lo under berapa?” Lila menyusun caranya untuk membantu sisa peserta Binusvi yang nanti akan tanding.
“Besok, gue standby.” Singkat Arnanda tersenyum kecut, merasa tak sudi kalau dirinya sudah berada di posisi babak final tanpa harus melewati babak penyisihan.
“O-oke, kalo lo menang bisa langsung dapet emas.” Ucap Lila ragu, meski tahu bahwa posisi standby bukanlah hal yang menyenangkan. Lantas beralih ke Vicki. “Elo?” Tanpa perlu Lila mengulangi pertanyaannya pada Vicki yang duduk disamping Arnanda.
“Jam 2 siang,” ucap Vicki santai, Lila semakin dibuat resah. Pikirnya, mungkin ia bisa membantu mereka untuk menjaga stamina sampai pertandingan mulai, tapi kalau Arnanda di posisi standby, lalu Vicki nanti siang. Kemungkinan untuk mereka menang sangat kecil, menjelang jam siang saja tim basket banyak yang berjatuhan. Apalagi Vicki yang nanti di dalam air?
“Cih,” decak Lila melirik ke Aska baru duduk setelah dari toilet. Ia sudah mengetahui jadwal Aska. Yaitu besok sore, itu termasuk waktu aman untuknya. Jadi ia akan membantu Aska untuk istirahat dan latihan.
Pertandingan basket usai, waktu untuk istirahat saat azan dhuhur berkumandang. Kondisi tim basket tidak memungkinkan untuk bisa lanjut pertandingan, begitu pun bagi pak Heri yang baru mengetahui kondisi mereka ini langsung memaksa berhenti.
“Kalian enggak jujur? Bapak kira kalian bisa–“
“Permisi pak, tapi keadaan mereka lagi enggak stabil. Mereka dan kami siap denger teguran bapak nanti, bukan sekarang.” Tukas Elza akhirnya, ia ganti memijat tangan Azwir sebelum ia sempurna pingsan.
Pak Heri yang mendengar kalimat itu dari anak didiknya merasa semakin bersalah lantaran melihat kondisi mereka tengah seperti ini.
“Heh, sopan dikit.” Sen Caraka yang memang menjadi senior kesehatan itu menjitak keras ke kepala Elza, yang hanya dibalas sungutan kesal.
“Baik, bapak hargai itu.” Pak Heri menyuruh sen Caraka berhenti menjitak, dan beliau keluar dari bilik untuk mengajukan keputusannya.
Seperti halnya tadi malam, Fairuz dan dua pelatih perempuan lain, juga sen Caraka ikut turun tangan untuk merawat mereka. Tim Voli lagi-lagi disuruh untuk melakukan kegiatan selayaknya peserta lain untuk tidak terlalu ambil peduli terhadap tim basket Binusvi yang down ini.
“Sumpah, gue lupa kalo Vicki tanding jam 2!” Fairuz berujar, mereka baru saja selesai merawat sisa orang dari tim yang ditinggalkan pelatih.
“Ikut gue, Za! Udah kelar semua, kan?” Fairuz langsung menarik tangan Elza.
“Pelan-pelan.” Elza kalap dengan tarikan Fairuz yang sudah keluar dari ruang kesehatan.
Ia menariknya menuju lapang bagian renang, berlari sekuat tenaga tak ingin tertinggal. Sialnya, ini sudah jam 2 lebih dua puluh lima menit belum lagi jarak antara lapangan basket sampe pelatihan renang.
Sorakan dan teriakan gempar di sisi penonton, tanda bahwa pertandingan selesai. Fairuz yang mendengarnya itu langsung berlari ke depan sana, melihat apa yang terjadi.
“Elwin…juara dua–“
“Vicki! Vicki gue juara dua!!” Teriak Fairuz heboh sendiri, merasa puas dengan kemenangannya meski di posisi kedua.
“Fina, tuh…,” Elza hendak memberi tahu Fairuz dengan menunjuk Vicki yang terhuyung-huyung keluar dari kolam renang.
“Vicki-gue.“ Fairuz langsung berlari ke bilik lapangan renang, ia sudah bersiap kalau Vicki akan lemas seperti tim basket tadi.
Elza memejamkan matanya sejenak, ia sudah kelelahan. Mengingat kalau jadwal tanding finalnya tengah malam nanti, dan tidak ada yang tahu jadwal itu selain seniornya.
Terlihat pertandingan demi pertandingan sudah di mulai di lapangan masing-masing. Karna jadwal yang tumpang tindih itu, mereka jadi tidak bisa melihat pertandingan yang lain.
Tiba-tiba saja sudah dapat kabar kalau Lcc Binusvi sudah juara satu, lalu Fairuz juga mendapat juara satu. Kabar yang diterima itu jadi memupuk semangat satu sama lain.
Senja tiba menjemput, Elza keluar aula sebentar. Mendinginkan kepalanya yang sedari tadi bergulat dengan pelatihnya, begitu juga dengan Arnanda. Ia terlihat memaksakan diri, tapi ia sudah ber-label keras kepala jadi sudah tidak ada lagi yang bisa menentang keputusannya. Elza menegak sebotol air dingin.
“Tuyul-tuyul, kalian minum es lagi habis latihan bakal gue pendem idup-idup ke tanah, nanti masih ada pertandingan! Awas lo.” Sen Oky menuding tajam, memperingati dengan gayanya pada Elza dan Arnanda.
“Aelah, sen. Haus,” Elza kembali menegak santai. Ia kembali menatap depan, muak dengan pemandangan didalam aula.
“Heh, seneng lo bisa bebas dari gue?” Tanya Arnanda dengan nada songongnya tak peduli dengan teguran sen Oky.
“Seneng lah, siapa yang betah deket sama elo? Utang gue udah lunas kan berarti.” Cengir Elza menantikan kebebasan selama sebulan ini.
“Headphone gue belom,” liriknya tajam, dibalas dengusan kesal. “Beli sendirilah.”
“Hm…buat thanks yang kemarin, jadi lo yang pilihin.” Arnanda merasa harus balas budi atas kejadian kemarin, tapi ia punya caranya sendiri untuk bisa membujuk.
“Gue pilihin? Pilih doang, kan?” Arnanda mengangguk menarik sudut bibrnya mengukir senyum. “Istirahat gih, lo tanding besok kan?” Elza sudah beranjak kembali masuk untuk melanjutkan latihannya.
“Lo sendiri kapan? Elah, udah balik aja tuh bocah.” Pertanyaan Arnanda tak sempat digubris Elza yang sudah kembali latihan.
Arnanda menyudahi latihannya, dan beranjak pulang.
Pikiran Arnanda masih terngiang dengan kejadian mengganjal kemarin, siapa yang membuatnya pingsan? Siapa dua orang itu? Saga, gimana? Sial, mau ngapain sih mereka? Nyari gegara gak mikir-mikir.
Arnanda memutar bola matanya malas, ingin mengenyahkan pikiran dan dugaannya yang tak masuk akal. Ia lagi-lagi berbelok ke arah dimana jalanan tempatnya pingsan sampai tak berdaya.
Sebenarnya apa yang akan ia lakukan di sana? Ia hanya merasa ada sesuatu yang sudah disiapkan di dalam sini. Langkah Arnanda memasuki gang yang kemarin, tempatnya masih sama. Kardus berserakan dimana-mana, tong sampah yang siap diangkut tapi juga tak kunjung diambil. Tidak ada yang aneh.
“Sial–“ Sesaat, kulitnya meremang cemas.
Arnanda cukup peka dengan sekitarnya, tapi karna egonya. Ia memilih diam tak ambil peduli. Bagian pojok gang yang benar-benar gelap itu berhasil membuat asumsi pada pikiran Arnanda, padahal di sana tak menampakkan apa-apa. Tangannya meraih sesuatu dari sana, keras, kayu kasar ia rasakan dari ujung jemarinya dalam kegelapan.
“Kampret, serangan parno nih? Kayu aja gue peduliin.” Arnanda menertawakan dirinya sendiri yang terlalu ingin tau. Ia akhirnya kembali ke hotel dengan perasaan mengganjal, tak pernah ia merasa seresah ini. Entah apa yang akan terjadi, tapi firasatnya mengatakan ini hal yang buruk.
***
Tengah malam hampir berlalu, gor semakin sepi. Meski pun begitu, pertandingan tetap dimulai. Sen Caraka dan sen Oky bersikeras untuk mendampingi Elza latihan dari pagi sampai malam pertandingannya. Tak lagi mempermasalahkan kalau nanti tidak ada yang mendukungnya.
“Sante, Za. Jangan grogi, menang, menang. Anak didik gue masak kalah,” sen Oky menepuk kasar pungunggung Elza berniat menyemangatinya, ia sekedar nyengir. Ia mulai pemanasan untuk terakhir kalinya di samping arena. Di sebrang sana sudah ada lawannya yang juga melakukan pemanasan.
Pertandingan dimulai dengan sengit, sama-sama tak ingin kalah. Elza merasa harus menang, tapi kenapa selalu ada yang hinggap dipikirannya? Siapa yang ia tunggu untuk melihat pertandingannya?
“Za? Rileks, tarik napas–“ sen Caraka memberikan beberapa penanganan langsung setelah ronde pertama berakhir, poin yang ia capai tertinggal. “Fokus, Za.” Ucap sen Caraka lagi, membuat Elza mendapat dorongan.
Tapi ini tak cukup membantu, seperti ada yang kurang. Di sebrang sana, Saga tersenyum hangat. Sengaja datang untuk melihat pertandingannya, ia memberi kode untuk semangat dengan tangan terkepal di atasnya melambai ringan. Degub jantungnya semakin memburu bersamaan dengan napasnya yang belum teratur, mencoba terbiasa dengan arena ini.
“Bukan, dia.” Gumam Elza tak bisa melihat jelas, karna tendangan sudah mengenai kepalanya. “Cih–gak guna juga.“ Elza kembali menendang, dan menyerang. Tak ingin tertinggal poin lebih dari ini, ia berkali-kali mendapat tendangan dan melontarkan tendangan meluapkan amarahnya yang tak menentu.
“ZA!”
“Lo kalah, lo bakal dikarungin Arnanda!”
“Heh, ambigu njir.”
“Menangin, Za!”
“Serang kepala!”
Suara sorakan yang mulanya sunyi dan hanya diisikan orang-orang dari club lawan, kini semakin ramai. Dan bukan hanya dari club lawan, tapi sorakan dari Binusvi. Mereka datang.
Hebohnya, mereka sampai membawa beberapa jajanan dan juga bantal untuk beberapa cowok yang memaksa ikut meski masih perlu istirahat.