***
Arnanda merutuki nasibnya, kakinya tak lagi bisa berdiri. Tangannya berusaha keras melindungi bagian kepalanya dari balok kayu yang mereka pakai. Vicki pun terkoyak dikerumuni banyak serangan.
Arnanda menatap Elza nyalang–pasrah juga bersalah. Elza…nama kalian, sama.
Aska tengah berduel dengan Alano, membiarkan cowok-cowok tadi bantu menghajar yang lain. Ia merasakan rasa sakit di punggungnya ketika Alano memukul bagian tubuhnya itu dengan balok kayu.
Aska marah ketika mengingat Lila jatuh didorong hingga kesakitan, tapi yang membuatnya semakin marah adalah sosok yang membantu Lila adalah Alano, dimana Lila berada juga ia tak tau. Dan sekarang Alano berdiri di hadapannya memberi perlawanan.
Sebenarnya apa mereka sudah merencanakan ini dari awal? Alano, Ardi, lalu Amar–mereka hampir memperebutkan cewek yang sama.
Lila dan Fairuz sudah berlari sejauh mungkin sambil menghubungi teman-temannya, sampai di sebrang jalan mereka melihat kelompok Rehan, Aurora, Firdiv, Nadhif.
“Siapa yang ngeroyok?” Tanya Nadhif terlalu memikirkan hal yang tidak cukup penting.
“Bego, urusin temen kita dulu.” Rehan memukul Nadhif dan berlari mengikuti Fariuz dan Lila menunjukkan jalannya, mereka berhasil mencari bantuan.
“Akh–“ pekik Elza merintih, ia sudah berusaha melepaskan tangan Amar. Tapi itu semua sia-sia, posisi Amar lebih unggul karna berada di atas tubuh Elza.
Kakinya meronta berharap ada celah, tangannya terus mencegah tekanan dari tangan Amar meski tak seberapa terpengaruh.
Elza hanya bisa menatap mata Amar yang memerah benar-benar tak terima sebelumnya dikalahkan oleh Elza.
“Dengerin, lo itu enggak seharusnya idup. Dan lagi, lo juga yang berani jawab gue. Balasan nih buat elo, elo mau ngelindungi yang namanya Arnanda? Cupu! Mau lo apa sekarang, hah?!” Tangannya semakin kuat menekik Elza.
Napas Elza tersengal berat, sulit sekali hanya untuk helaan napas sedikit saja. Pandangannya pun mulai kabur.
“Lepasin, bangsat! Cemen banget ngelawan cewek!” Arnanda benar-benar merasa bersalah, kalau ia lebih waspada lagi dengan pergerakan Amar yang tadi akan menikamnya. Mungkin Elza tak akan berada diposisi itu.
“Za, tetep sadar. Lo enggak ada hubungannya sama semua ini,” gumam Arnanda masih bersikeras dengan apa yang ia tahu, Elza yang mereka maksud udah mati.
Arnanda masih berusaha melawan cowok yang terus-terusan memukulinya. Beruntungnya, ia sedari tadi melindungi bagian kepala belakang. Tak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, tapi sayangnya kaki yang terkilir itu malah menjadi pacuan dari target mereka.
“Bangsat! Jangan sentuh cewek itu!” Pekik Saga berlari sekuat tenaga, dan menubruk Amar membuat mereka berdua berguling menjauh.
“Buset, gue baru kali ini lihat yang real di depan mata.” Ucap Fahreza terkagum untuk beberapa saat.
Mereka belum menyusun rencana, setelah melihat Elza yang baru saja dicekik. Aska yang sudah berlumuran darah, Vicki dan Arnanda yang dikepung tanpa celah. Sampai tiba-tiba Saga datang menyingkirkan Amar.
“Goblok! Gue bilang jangan sentuh cewek itu! Lo mau mati?! Dungu, tolol!” Saga menjotos-jotos Amar sekenannya.
Saga merasa bersalah, padahal dirinya yang sudah merencanakan banyak hal seperti ini. Amar sudah jatuh pingsan karna jotosan Saga mengenai rahangnya, ia sudah tak bisa berkutik ataupun mengerang.
Saga tertunduk tak mengira kalau temannya akan melewati batas seperti ini.
“BERANI-BERANINYA LO MUKULIN TEMEN GUE, BANGSAT!” Teriak Pradig dan Arkan melayangkan tendangan dan jotosan ke beberapa cowok yang menghajar Vicki dan Arnanda tak perlu lagi mengendalikan kekuatan mereka.
“ALAH BACOT LU, NJING! BERANTEM SAMA KITA KALO BERANI!” Bentak Fatur dan Akbar sudah tak habis pikir, bahkan mereka lupa kalau semalam masih terbaring di kasur dengan lagak sakit.
“Ngelawan Vicki kok kroyokan, main yang adil, bro! Lawan kita sekalian! Ngotak, nyet!” Ismi sudah meruntuhkan beberapa cowok yang barusaja mendekat hendak melawan.
“LO PIKIR GUE TAKUT? LAWAN GUA KALO BERANI!” Hanif dan Aji sudah tersulut emosi segera melayangkan tinjunya.
Mereka datang, angkatan rompi yang terakhir. Membuat mata nanar menatap mereka yang tengah bergulat. Terperangah karna tak ada yang tahu kalau akan terjadi hal seperti ini.
Arnanda sudah bebas dari kerumunan, karna bantuan Nadhif dan beberapa temannya yang baru saja datang. Tapi kakinya tak mau berkompromi, belum sampai di tempat Elza terbaring ia sudah merasakan mati rasa di kakinya.
“Za,” Saga sudah lebih dulu mendatangi Elza dan membantunya untuk bangun.
Elza sudah tidak sadarkan diri, melihat itu Lila dan Fairuz sontak mendekat, ada rasa terselubung di dadanya.
“Masih, masih napas–“ Uucap Saga dengan napas menderu merasa sangat bersalah, ia mengangkat tubuh Elza dengan hati-hati. Tubuhnya sendiri bergetar benar-benar tak habis pikir kalau Elza bisa saja mati karna rencananya.
Suara mobil polisi dan ambulan mulai terdengar mendekat.
Lila langsung menghampiri Aska sekilas menatap Alano yang sudah tersungkur di sebelah sana, ia tak memiliki rasa iba untuknya. Meski hatinya sakit saat melihat Alano, ia merasa dihianati begitu saja, rasa bersalah pun tetap menggelayutinya. Fairuz pun ganti menghampiri Vicki setelah Elza dibawa oleh Saga lebih dulu.
Arnanda merasa tak berdaya, kakinya tak mampu ia gerakkan. Ia tak tahu lagi harus bagaimana, ia malah menjadi beban untuk orang lain.
“Nand,“
Rehan, dan Azwir membantu memapah Arnanda. Tak perlu banyak penjelasan lagi, dari raut dan keadaan Arnanda mereka semua tau kalau Arnanda terluka dibagian kaki, entah separah apa, tapi itu berhasil membuat Arnanda tak mampu berjalan.
Keadaan mereda, setibanya polisi yang berhasil menangkap beberapa orang pembuat onar. Ambulan juga berdatangan membantu, senior dan pelatih lain tak pernah menyangka akan mendapati anak didiknya diserang seperti ini.
Lila menutup mulutnya menahan teriakan yang hendak keluar.
Aska…
Keadaan Aska sangat memprihatinkan. Wajahnya penuh luka lebam dan beberapa bagian tubuhnya terdapat noda merah kecoklatan.
“Ka`…,” ucapnya dengan suara bergetar. Air matanya mulai menetes dan mengalir ke pipinya. Ia tidak menyangka keadaan Aska akan separah itu.
“Aska…, kok lo bisa kayak gini?”
Hatinya sakit, seolah terus-menerus ditusuk oleh ribuan jarum tajam terasa lemas sekali. Sama halnya ketika ia melihat keadaan Elza tadi. Untung saja Nabila menahan tubuhnya agar tidak jatuh.