***
Aurora mendengus, kembali mendongak. Dia refleks mendelik ketika cowok di depannya itu tersenyum gaya. ‘Cih. Sok ganteng.’ Rehan yang menyadari tetapan Aurora yang menyelidik itu malah tertawa ringan.
“Ketekuk tuh wajah lo,” Rehan mencubit pipi Aurora dan meringis kesakitan.
Bus sudah dipenuhi dengan siswa-siswi Binusvi dari Jogja, yang semulanya berisi 26 kini berkurang 4 orang. Dengan harapan besar mereka ingin cepat bisa kembali ke kondisi awal.
Sepi beberapa menit setelah bus melaju meninggalkan hotel.
“Kok diem?” Ccletuk Ghaida di tengah-tengah kesunyian.
Arkan yang duduk di belakangnya itu menendang kursi Ghaida. “Lihat sikon cuy,”
“Njing, kesambet apa lo bisa lihat sikon segala? Biasanya aja asal ambyar lo gak masalah,” senggol Ismi duduk disebelahnya.
“Khilaf, khilaf…,” ucap Firdiv sambil tersenyum memainkan korden jendela.
“Buset, gue gak percaya lo bisa khilaf.” Nadhif bersungut, menjadikan suasana lebih santai.
“Setel musik yok!” Ghaida mengalihkan topik lagi, ia lebih memilih menghibur yang lain dengan kekonyolan khasnya. Pikirnya, dari pada dengerin orang nangis, mending joget.
Keramaian mulai menyelimuti lagi, kecuali dalam hati Lila dan Fairuz. Meski mereka sudah memasang senyum paksa, tetap saja mereka masih mengkhawatirkan sesuatu yang belum jelas. Sore itu mereka berpulang dengan bangga atas apa yang telah mereka raih.
“Nanti, kita bareng-bareng jenguk mereka, ok?” Ujar Nabila memasang wajah semangat. “Bener tuh, istirahat aja dulu, Lil.” Firdiv mengusap pundak Lila kesekian kalinya.
“Kalian juga butuh istirahat,” ucap Rehan menutup pintu bis yang terakhir.
“Iya, kalian duluan.” Lila memasang senyum. “Udah gak papa, lagian kita gak ngapa-ngapain dirumah.” Cengir Fairuz kentara canggung, lebih memaksa.
“Yaudahlah, kita gak bisa maksa juga. Yang ada kalian malah tambah mikir yang enggak-enggak kalo enggak ke rumah sakit. Ntar, kita dateng.” Azwir menyetujui keputusan mereka, ditanggapi anggukan dari yang lain.
“Nanti lagi,”
Pamit mereka satu persatu meninggalkan sekolah yang tengah libur di akhir pekan ini. Cukup lama Lila dan Fairuz menunggu jemputan dari orang tua. Meskipun umur sudah menginjak remaja, mereka tetap anak kecil dimata orangtua.
Tiba-tiba mobil berwarna merah melintas di depan mereka, berhenti dan mengisyaratkan untuk naik. Bang Farrel datang menjemput, tak heran karna orangtua Lila juga termasuk sibuk. Apalagi orangtua Fairuz yang selalu tak bisa mengantar jemput anaknya sendiri.
“Ayah lagi ngurus pengadilan, kalian buruan naik.” Jelas bang Farrel singkat. “Habis gue anter, kalian jangan kemana-mana sampe kelas sore gue selesai.” Selama perjalanan bang Farel membahas topik yang tak diminati anak SMA ini, abang yang tergolong santuy tapi care.
“Inget, jangan kemana-mana dulu.” Tegas bang Farrel setelah mereka turun dari mobil. Sedari tadi ia bingung harus membahas apa, karna mereka berdua tidak ada yang merespon canda garingnya.
“Makasih, bang.” Fairuz menunduk sopan.
“Bang, lo gak sekalian jenguk ke sana?” Tanya Lila akhirnya, “Enggak usah, gue ada kelas, duluan.” Bang Farrel sudah melesat menjauh.
Tak lama mereka menemukan kamar Arnanda, Aska, Vicki, dan Elza. Memasuki satu persatu dengan debaran hati yang tak pernah mau tenang.
“Arnanda udah sadar katanya, mungkin udah baikan.” Lirih Fairuz berjalan menuju kamar Arnanda beriringan dengan Lila.
“Lo kayak enggak kenal Arnanda aja, dia tuh egonya segede gaban. Enggak mau orang lain tau kalo dia lagi sakit,” kalimat Lila berhasil stabil seperti biasanya.
“Perasaan semua orang juga malu kalo dilihat lemah,” sungut Fairuz tak terima.
Kamar Arnanda mereka buka dengan perlahan, di sana–Arnanda berbaring asal-asalan tak niat juga tak terurus.
“Nand? Enggak manggil perawat buat bantu el–“
“Berisik.”
Ketus Arnanda memotong kalimat Lila. Perasaannya tengah kacau, menatap hina pada kaki yang di gips. Fairuz yang menyadari itu, menyenggol Lila menunjuk dengan dagunya yang bergerak maju.
“Eh, Nand. Lo tau, gue baru inget kalau pas kebakaran lo itu anak kecil yang diselamatin kakaknya–“
“Ngapain lo bahas itu bego?”
Lila ganti berdecih menyikut Fairuz, mereka sama-sama bingung untuk menghadapi sosok seperti Arnanda yang tak bisa ditebak ini.
“Apa lo bilang?” Arnanda merespon sambil menolehkan kepalanya. Menatap Fairuz menantikan kelanjutannya.
Karna yang Arnanda dengar itu memang benar, kak Vivi yang menyelamatkan dirinya saat kebakaran. Dan perempuan itu adalah kakaknya Elza.
”G-gimana keadaan Aska?” Lila tergugup mencoba mengalihkan topik.
“Belum sadar. Vicki udah, sana jenguk yang lain,” Arnanda membenarkan selimutnya asal tarik.
“Elza?”
Arnanda terdiam, dan menggeleng sedikit. Hanya sedikit.
Dengan jawaban yang mereka dapat, mereka langsung menuju ke kamar Elza. Pikir mereka, semuanya sudah baikan tapi ternyata dugaan mereka meleset.
Deru napas Elza pelan dan lemah, bengkak bagian belakang lehernya terlihat sakit. Beberapa luka telah dibalut rapi. Tak bisa berkata-kata, mereka hanya tertegun menatap sahabatnya terkulai di atas ranjang seperti ini.
Mata mereka kembali memanas, menahan tangis sekuat tenaga.
“Kalo nangis di deket Elza, mesti langsung dibilang alay..., kan?” Fairuz mengingat jelas kebiasaan Elza yang selalu memprotes sikap wajar perempuan. Lila mengangguk setuju, pikirannya sudah kalut membayangkan saat dulu seperti ini.
Elza yang terbaring lemah berhari-hari dan berbulan-bulan. Membuat dirinya terus menunggu, dan kali ini ia tak ingin itu terulang kembali. Lila memilih keluar dari kamar mengganti suasana hatinya lebih dulu, air mata yang membendung di pelupuknya perlahan luruh.
“Aska...,”