***
Sepekan menuju try out pertama, kelas 12 tengah mati-matian belajar–tidak semuanya.
“Hanipp, Rehenk! Bangun!” Teriak Aurora dan Zahra yang sudah muak dengan kelakuan Hanif, dan Rehan bisa-bisanya mereka rutin tidur di jam tambahan.
“Nih, guys! Soal dari bu Dewi.” Nabila masuk dengan langkah semangat, mau tidak mau, sebagai ketua ia tetap harus terlihat semangat. Seperti biasa, MIPA 2 dan 3 kumpul jadi satu atau mungkin kelas lain juga ada yang bergabung di dalamnya.
“Vicki, gue bawain segudang soal buat kita.” Fairuz memasuki kelas sebelah, menghampiri Vicki. Di sana Arnanda tertidur, Aska main hp sudah menjadi pemandangan yang tidak asing lagi.
“Njir, gue satu soal enggak kelar-kelar udah lo kasih segudang.” Keluh Vicki menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ngerjainnya bareng gue. Tenang, gue bantu kok,” kaki Fairuz naik satu ke kursi dan berlagak seperti pahlawan.
“Eh, Nand, Ka`. Mending kalian ke kelas sebelah, Lila sama Elza kesepian kagak ada gue.” Cengir Fairuz menunjuk-nunjuk kedua cowok itu.
“Buruan gih,” paksanya sambil mendorong kursi Arnanda, membuat ia terbangun dari tidur.
“Bener juga, ikut gue yok.” Aska sudah beranjak.
“Buset, ngapain lo ngajak gue ekh–“ Aska menarik kerah belakang seragam rompi Arnanda yang membuatnya tercekik dan akhirnya terpaksa mengikuti tarikan Aska.
“Kalah mulu gue, kan mumpung ada pacar kenapa enggak diladeni.” Aska melepas tarikannya saat memasuki kelas sebelah.
Lila dan Elza sedang menguras otak mengerjakan soal-soal yang baru saja dibagikan. Tiba-tiba mata Lila ditutupi oleh sebuah tangan, Elza hanya mendongak menyadari kehadiran dua curut yang baginya hanyalah pengganggu.
“Aska, gue tau ini elo.” Lila tersenyum senang.
Arnanda hanya bergidik geli dan asal duduk di meja Elza tak peduli dengan kertas-kertas yang tengah dikerjakannya.
“Gila, mata lo di pantat ato gimana? Gue lagi ngerjain.” Elza mendorong pantat Arnanda.
“Nih.” Aska mendorong kursi ke tempat Arnanda, dia sudah mendapat kursi dan duduk bersebelahan dengan Lila.
“Heh, kenapa lo jadi berduaan gitu.” Elza melirik sengit dengan kelakuan Lila dan Aska, “Siapa yang tadi mau nyelesein tugas?” Sindiran Elza berhasil mengenai Lila.
“Hehe, Za. Gue sama nih bocah dulu.” Lila tersenyum memohon, lebih memilih Aska daripada dirinya.
“Serah lo, dah.” Elza melirik malas. “Terus lo ngapain kesini?” ia merapikan mejanya, sudah tak minat lagi untuk mengerjakan soal.
“Menurut lo?” Arnanda sudah menaruh kepalanya dimeja yang baru saja Elza bersihkan dan mulai memejamkan mata. Tidur?
“Lo kira tempat gue kasur elo? Main tidur seenak udel,”
Kalimatnya tidak di gubris, ia kembali mengeluarkan kertas soal setelah berpikir ulang. “Minggir,” usir Elza.
Arnanda hanya bergeser memberi celah meja sedikit.
“Hmm…,” seringai Elza terukir jelas, tersenyum licik. Tangannya meraih spidol permanen mulai menyoretkan perlahan-lahan ke wajah tampan Arnanda.
“Ngapain, Za?” Bisik Lila menyadari pergerakan aneh Elza, Aska pun ikut menyelidik.
“Gila lo,” Aska menahan tawa, menyadari wajah konyol Arnanda yang sudah terukir berantakan.
“Ssstt, jangan keras-keras.” Lila menutupi mulut Aska agar tidak membangunkan Arnanda dengan tawanya.
Elza tak mempedulikan mereka, langsung merubah posisinya dikala ada pergerakan dari raut Arnanda.
“Ngerjain dulu, dungu.” Arnanda terbangun, mendongak bertatapan dengan Elza.
Wajah yang sudah di coret-coret asal yang akan dilihat konyol itu justru berbanding kebalik. Wajahnya malah menjadi imut, seperti kucing garong.