***
Elza menopang dagu di atas meja pagi itu. Matanya melamun. Keributan kelas tak digubris sama sekali. Sampai dia merasa tendangan pelan di mejanya dari samping membuat Elza tersentak kaget.
Gadis itu menoleh, melihat Lila yang baru tiba mengenakan hoodie dan jaket yang sengaja ditumpuk. Memang pagi yang dingin, tapi tidak bagi Elza yang hanya memakai jaket asal tanpa di resleting dengan benar.
“Tumben lo gak telat?” Tanya Lila meraih kursinya dan duduk.
“Hm,” anggukan singkat itu tak berbalas lagi.
“Wayahe, wayahe.” Teriak Anggita berhasil memecah keributan membuat mereka beranjak dari kelas.
“Yang enggak salat, ke bus duluan.” Perintah Nabila diikuti Rora dari kelas sebelah. Lila bersungut membangunkan Fairuz yang tertidur karna begadang menantikan hari ini. Elza tetap diam memperhatikan.
“Datang bulan?” Lila langsung paham dengan maksud diamnya, dibalas anggukan.
“Wah, bakal ada singa PMS nih.” Fairuz yang baru setengah sadar itu menguap malas dan bersandar pada Lila. “Dingin,” keluh Fairuz yang juga memakai jaket yang cukup tebal.
Mereka keluar kelas saat azan berkumandang tegas.
Keadaan kelas telah sepi, hanya tersisa beberapa orang. Suara azan yang terdengar merdu itu lagi-lagi membuat khas bagi sekolah Binusvi, suara anak remaja yang menyuarakan panutannya. Hari yang di tunggu-tunggu kini tiba, kemah yang diadakan di tengah-tengah semester.
“Suaranya Fahreza bukan sih?” Tebak Fina.
“Kuat gitu napasnya,” puji Putri ikut menyimak lantunan azan.
“Gue tuh yang ngajarin.” Ghaida menaiki kursi dan menunjuk dirinya sendiri bangga.
“Apaan sih, Ghe.” Elza menyeringai melirik sekilas ke bawah jendela.
Sekitar 3 bus sudah tertata rapi di halaman sekolah, barang-barang yang dibawa juga sudah masuk lebih dulu. Tinggal menunggu salat lalu berangkat.
“Buruan! Ditinggal lho,” sorak Aurora saat beberapa temannya tengah berjalan menuju bus.
Hampir semua bus sudah terisi penuh. Karna bus kelas ekonomi yang telah mereka pesan, dengan berat hati. Dua kelas pun akhirnya di gabung. Entah sejarah pembagian dari mana, tapi MIPA 2 dan 3 lagi-lagi bersatu.
“Jalan yok! Tinggal, tinggal.” Timpal Arnanda semakin membuat teman-temannya lari terbirit-birit memasuki bus.
“Untung cakep, Nand. Kalo enggak, udah gue gampar lo.” Arnanda sekedar menggeleng renyah, menimpali rutukan dari temannya.
“Bakal ancur tuh busnya.” Kekeh Salsa dari bus sebelah sudah melambai lewat jendela,
“Heh, jangan ngomong gitu. Gue udah mikir engak-enggak nih,” balas Nasywa dari dalam bus mengeluarkan kepalanya sedikit ke jendela.
“Sekalian aja jatuh, gue bantu.” Dorong Aji bercanda dan duduk di sampingnya.
Salsa yang melihat itu hanya bisa menggeleng-geleng, tak bisa percaya dengan kehadiran kedua kelas itu di kehidupan sekolahnya.
“Absen dulu. Duduk di tempat masing-masing.” Nabila dan Aurora sama-sama kerepotan untuk mengabsen mereka semua. Tapi ternyata tak butuh waktu lama dan mereka selesai dengan cepat.
“Doa sesuai kepercayaan masing-masing,” pimpin Rehan sebelum bu Rini, pak Abi, dan pak Island masuk untuk memberi beberapa salam pembukaan.
Perjalanan diawali dengan damai.
Usai dari pembukaan, mereka kembali ribut dan sesekali berpindah-pindah tempat duduk karna merasa bosan. Arnanda pun sudah maju lebih dulu, mencari keributan yang minimalnya menghilangkan rasa suntuknya di bangku belakang.
“Za, tukerlah.” Pinta Neysa yang duduk dibelakang, meminta untuk pindah ke bagian depan. “Kaki gue ketekuk, Za. Kursinya ke pendekan.” Neysa beralasan, kalau dilihat lagi tubuh jangkung Neysa cukup terhimpit diantara bangku-bangku tengah itu.
“Mentang-mentang tinggi,” Elza berdiri pindah ke bagian belakang.
Sekilas ia disapa Lila dan Fairuz yang tengah duduk bersama pacar masing-masing. “Masih suci…,” gumam Elza tak ingin terlihat iri karna sudah tidak di pedulikan sebagai teman.
“Za, sama mantan rival lo gih.” Vicki tiba-tiba berujar pada Elza yang sedang melawan arus dari guncangan bus.
“Tuh sibuk ngamen, kalian SIBUK pacaran sih.” Elza menekan suaranya, menyindir kedua sahabatnya.
“Yah, Za. Jangan marah,” bujuk mereka melihat punggung Elza yang semakin menjauh.
“Hm,” lambai Elza tak menengok ke mereka sedikit pun, sudah terbiasa mendengar alasan-alasan yang selalu di pakai kedua sahabatnya itu.
Hiruk ricuh kegaduhan di dalam bus tidak menjadi hambatan untuk melajuna jalan. Arnanda membantu Ismi, dan Azwir membagikan snack pagi ini.
“Bali, yok. Bali~” Ismi sudah berdiri sambil nyanyi dengan lirik asal.
“Bali omah?” Ejek Pradig melesetkan logatnya.
“Bali–ah, lo kan emang orang pelosok sampe enggak tau Bali.” Balas Arnanda bercanda.
“Bjir, kayak orang kota aja lo.”
“Nyatanya pedalaman.” Gelak Arkan semakin memekakkan telinga.
“Gue lempar duit, lo.” Arnanda bersiap melempar snack yang ia bawa.
“Mau, bang. Sini, seratus juta doang. Nambah juga gak masalah, bang.” Rajuk beberapa cowok di hadapan Arnanda.
Jijik. Satu kata tergambar di raut Arnanda. “Anjir, pada jadi dugong darat.” Decih Arnanda melemparkan satu persatu snack mereka yang berjarak lebih dekat.
Benar saja, mereka memang bertujuan ke Bali jadi secara tidak langsung mereka juga sempat-sempatnya menyindir Nabila yang niatnya tak mau memberi tahu sampai hari H. Nabila yang mendengar celetukkan mereka hanya manggut tidak merasa bersalah.
“Etdah, banyak banget yang lagi berduan buset. Heh, Nand. Ditunggu bini lo tuh, kesepian.” Senggol Hanif ke Arnanda menunjuk deretan bangku sampai ke belakang. Terlihat berseling cowok dengan cewek yang duduk bersama.
“Anjrit, Singa kutub mana pernah kesepian. Kalo rame, di bogemin yang ada.” Cerca Azwir geli melihat ke frontalan kelas mereka.