My Old Story

arina winter
Chapter #1

Bab 1 - Takdir?

Minggu kedua dipertengahan bulan september.

Dua pohon cemara berukuran setinggi atap sekolah yang berada di depan kelasku sedari tadi terus bergoyang mengikuti arah angin yang disertai hujan yang lebat sejak tiga jam yang lalu.

Sesekali langit kelabu yang nampak dari jendela kaca kelas menghilang tertiup angin, dan berganti dengan awan hitam pekat yang membuat siang hari berubah gelap.

Di luar kelas, murid laki-laki begitu riuh bermain basah-basahan dari tempias hujan yang membasahi sepanjang koridor sekolah.

Hujan adalah favoritku.

Aku bisa berlama-lama memandangi hujan dari dalam jendela kelas. Karena hujan, membuatku hanyut dalam imajinasi yang kubuat sendiri.

"Hey, ngelamun??" Tepukkan pada pundak kananku seketika menyadarkanku ke alam sadar.

Kepalaku menoleh ke belakang.

Rendy, teman sekelas yang duduk di samping mejaku. 

Bentuk wajahnya mengingatkanku pada  tokoh fiksi yang begitu populer, Harry Potter dan bintik matahari di wajahnya khas wajah orang-orang eropa pada umumnya.

"Eng ... ga!" Jawabku berbohong dan terbata-bata karena gugup melihatnya.

Pemilik mata sendu tersebut menarik kedua bibirnya memperlihatkan kedua lesung pipinya dan kedua giginya yang gingsul.

Ia menarik kursi kosong yang ada disebelahku dan tanpa permisi duduk diatasnya.

Tangan kanannya hendak mengambil buku bersampul hijau milikku yang ada diatas meja, namun secepat kilat kutepis dengan tangan kananku.

"Husst!! Privasi!" Ujarku sembari memeluk bukuku yang tidak boleh dibaca orang lain.

"Abis nulis cerita lagi ya?" Tanyanya basa basi.

Kepalaku mengangguk pelan.

Hampir murid dikelasku tahu jika aku sangat suka menulis cerita. Bahkan, setiap kali ada lomba tulis menulis di sekolah, mereka selalu 'menyodorkan' diriku terlebih dahulu untuk menjadi wakil perlombaan dari kelas kami.

Suara embusan napas panjang terdengar dari mulut Rendy.

"Rencana ngelanjutin sekolah dimana?" Tanyaku mengisi keheningan diantara kami.

Rendy memalingkan wajahnya ke hadapanku.

"Mungkin ke sekolah yang ada jurusan TI-nya!" Jawabnya dengan kedua bola mata ke atas seolah berpikir mencari jawabanku.

"Bagus deh! Kamu kan juga pinter bahasa inggris!" Pujiku saat ingat ujian bahasa inggris nilai Rendy yang paling tinggi.

"Aku dukung kamu!" Sambungku.

Senyum Rendy melebar dari sebelumnya.

Jujur, dalam hati merasa deg-degan melihat senyum yang hanya berjarak 4 jengkal dari wajahku.

"Aku juga dukung kamu jadi penulis!" 

Sebelah alisku terangkat mendengar ucapan Rendy barusan.

"Nanti, kalau bukumu sudah terbit, aku orang pertama yang dapat bukumu ya?" Sambung Rendy dengan nada terkekeh.

Kepalaku mengangguk pelan mengiyakan ucapannya.

Keheningan melalui kami sejenak, sebelum Rendy membuka mulutnya kembali.

"Hey, bagaimana kalau kita saling berjanji? Jika 20 tahun yang akan datang kita bertemu kembali, artinya kita memiliki takdir yang sama?" Ujar Rendy dengan wajah yang sedikit serius.

Dahiku berkenyit. 

Entah, aku belum bisa mencerna dari perjanjian yang Rendy buat. 

Takdir apa yang Rendy maksud?

Dan apa sebenarnya takdir itu? Aku juga belum memahaminya dengan baik.

Ah sudahlah! 

Perjanjian itu hanyalah dibuat dua anak yang belum tahu arti sebenarnya dari isi janji yang mereka buat, batinku berujar.

Aku hanya mengiyakannya saja.

Lihat selengkapnya