"Sayang, kau melewatkan makan malam bersama kami!" Kataku saat memasuki kamar tidur kami yang berukuran 3x 4 meter persegi.
Ditengah kesibukkannya mengemas pakaiannya ke dalam koper, Joe menolehkan kepalanya saat mendengarkan suaraku.
"Maaf, karena banyak barang yang belum ku kemas!" Ujarnya dan menghentikan aktivitasnya sejenak.
Perlahan-lahan kututup daun pintu kamar tidurku yang bercat putih.
Lantai vinyl berdecit saat langkah kakiku berjalan lambat ke arah Joe.
Ku peluk tubuhnya yang lebar dari belakang dan bergelayut manja meminta perhatian darinya.
Kuhirup lama punggungnya yang berlapis baju polo berwarna biru tua. Aroma khas tubuhnya yang seringkali membuatku betah berlama-lama berada di dekatnya.
Joe mulai merasakan sulit bergerak karena pelukanku. Ia pun membalikkan tubuhnya kemudian menarik tanganku dan mendekap tubuhku hingga tubuhku terdesak di dalam dekapannya.
Sekujur tubuhku mulai terasa hangat!
Sebelum aku terhipnotis dan tertidur di dalam pelukannya, segera mungkin aku menyadarkan diriku sendiri.
Sedikit kutarik tubuhku kebelakang dan wajahku mengadah menatap wajahnya dengan mimik mengiba.
Kecupan dalam dari bibirnya mendarat di dahiku hingga membuat kedua mataku terpejam dan hanyut.
Joe melepaskan rangkulannya bersamaan melepaskan ciumannya dari dahiku.
Seketika aku tersadar dan kembali menyeimbangkan tubuhku.
Desahan napasnya berat dan juga hangat saat mengenai kulit.
"Aku juga tidak mau berpisah seperti ini!" Ujarnya dengan suara lirih.
Bibirku kelu untuk membantahnya. Ini kali kedua aku mencoba merayunya, tapi kembali gagal.
Joe cepat sekali menanggapi maksud kedatanganku ke kamar tidur untuk menemuinya.
"Ini hanya tiga bulan pelatihan! Kalau tidak sesuai, aku akan kembali pulang!" Sambungnya.
Tangannya kembali mememasukkan peralatan mandi yang sore tadi kubeli dari minimarket yang tak jauh dari rumah ke dalam tas kecil agar tidak tercecer.
Bibirku masih membeku dan sulit untuk berkata.
Ditambah lagi kedua bola mataku mulai memanas menahan air mata yang hendak jatuh setelah suamiku terus menerus berbicara tanpa jeda.
"Aku janji akan sering memberimu kabar!"
Air mata yang tak bisa terbendung itupun pecah. Tak sanggup rasanya harus hidup terpisah lantaran keinginan Joe yang ingin ikut kerja bersama temannya di luar kota.
Dua minggu yang lalu Joe bilang kepadaku, kalau ia mendapatkan tawaran pekerjaan dari salah seorang temannya.
Gajinya setelah trainning 3 bulan hampir sama dengan gaji yang ia terima di tempat kerjanya yang lama.
Logging kayu, jawabnya. Saat kutanya jenis pekerjaan yang temannya tawarkan kepadanya.
Joe, memutar tubuhnya yang membelakangiku. Kedua tangannya memegangi kedua bahuku yang siap ambruk kapan saja.
"Setidaknya, rasa bersalahku akan berkurang jika aku bisa membahagiakanmu dan anak-anak!"
Entah, rasa bersalah mana yang ia maksudkan. Aku belum paham.
Apakah karena satu tahun mengganggur sehingga tidak bisa membuktikan bahwa dirinya bertanggung jawab sebagai kepala keluarga yang harusnya memberi nafkah?