Tiga hari yang lalu, Mery menyodorkan nama Sarah sebagai kandidat tunggal pengasuh yang akan menggantikan Bu Judy.
Sebenarnya setengah hati melepas Bu Judy yang sudah membantuku menjaga Sean dan Dylan disaat aku bekerja diluar rumah. Karena Bu Judy adalah pengasuh yang baik dan telaten merawat kedua bocahku.
Sayang, beliau harus balik ke kampung halamannya, karena menantunya sebentar lagi akan melahirkan dan Bu Judy ingin menghabiskan waktunya bersama cucu pertamanya.
Sengaja memang aku meminta bantuan Mery untuk mencarikan pengasuh anak. Karena belajar dari pengalaman sebelumnya, Mery yang memperkenalkan aku dengan Bu Judy dan kini aku juga berharap Mery bisa membantuku mendapatkan pengasuh sebaik Bu Judy.
Aku dan Sarah sepakat untuk bertemu di rumahku hari senin saat gadis tersebut menghubungiku melalui saluran telepon genggam, satu hari sebelum pertemuan.
Pukul 5 sore.
Dihadapanku, Sarah tengah menyeruput teh hijau yang beberapa menit lalu kusuguhkan untuknya.
Awalnya ia terlihat canggung, namun makin kesini ia mulai banyak menceritakan tentang dirinya.
Apakah karena efek teh hijau yang membuatnya lebih rileks? Entahlah, yang jelas kami seperti orang yang sudah mengenal cukup lama, sehingga obrolan kami mengalir begitu saja.
Sejak tiba di rumahku, aku terus memperhatikan penampilan Sarah. Tampilannya tak jauh berbeda dari yang Mery deskripsikan.
Sarah terlihat tomboi dengan kaos oblong dengan balutan jaket denim dan di padukan celana jeans belel. Potongan rambutnya pendek dibawah telinga dan membelah kekanan hampir menutupi sebagian dahinya.
Namun, titik fokus pandanganku lebih tertuju pada garis hitam eyeliner yang meruncing pada bagian ujung kedua matanya. Membuatku tersorot tajam setiap kali Sarah menatap kearahku.
"Jadi, kau masih kuliah?" Tanyaku saat meng-interview-nya.
Sarah meletakkan cangkir yang dipegangnya ke piring kecil yang berada diatas meja ruang tamuku.
"Ya, hanya saja aku sedang cuti kuliah sekarang. Aku ingin membayar tunggakkan uang kuliahku terlebih dahulu." Jawab Sarah dengan suara datar.
Kisah hidup yang keluar dari mulut Sarah membuatku tersentuh akan perjuangannya yang berkeinginan untuk mengubah nasibnya dan juga kedua orangtuanya.
Ia juga mematahkan perspektif tentang anak semata wayang yang terkenal manja dan berharap belas kasihan dari orangtuanya.
Sarah juga tidak pelit membagikan kisah keluarganya kepadaku. Ia merupakan anak tunggal yang lahir dari keluarga sederhana.
Ayahnya Sarah bekerja sebagai montir bengkel mobil dan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Sarah memiliki keinginan mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Sayangnya, orangtuanya tidak cukup mampu membiayai kuliah Sarah yang sudah setengah jalan.
Terlebih lagi, Sarah menceritakan bahwa sebelumnya ia pernah bekerja serabutan. Sepupunya, Amel yang juga teman sekolah Mery menawarinya bekerja di tempat bilyard. Sarah sempat satu pekerjaan dengan Mery, meskipun setelah seminggu Sarah bekerja ditempat tersebut Mery mengundurkan diri.
Tapi, Sarah memiliki cerita lain tentang penampilannya yang tomboi.
Ia sengaja memangkas rambutnya yang panjang menjadi pendek seperti laki-laki dan mengubah penampilannya yang tadinya feminim demi menghindari rayuan pria hidung belang yang selalu mengganggunya.
Saat bekerja, ia sering kali mendapat pelecehan verbal maupun fisik seperti, tubuhnya dicolek oleh pria-pria brengsek yang mengincar tubuh semoknya.
Seketika aku mengingat Mery yang pernah bercerita bahwa ia kabur dari tempat kerjanya karena muak mendapat perilaku tak senonoh terus menerus.